FEBRUARI
1661. Hawa musim dingin masih menyelimuti Kota London. The Royal Society yang
baru berusia satu tahun sedang menerima kunjungan Duta Besar Kerajaan Denmark.
Pertemuan dengan tamu agung ini bukanlah pertemuan biasa. Ada satu peristiwa
menarik. Robert Boyle, salah satu pendiri organisasi ilmuwan bergengsi ini,
mendemonstrasikan sebuah pompa udara hasil kerja selama beberapa tahun bersama
Robert Hooke di Oxford. Machina Boyleana itu terdiri dari sebuah bola kaca yang
berisi udara yang disambungkan pada sebuah pompa di bagian bawah. Ketika pompa
itu ditarik, bola kaca tersebut menjadi ruang hampa udara. Para tamu yang hadir
terkesima. Mereka menjadi saksi kemenangan Boyle atas tesis Thomas Hobbes yang
mengatakan bahwa udara tidak akan meninggalkan bola kaca. Melalui pompa udara
ini, Boyle dapat membuktikan bahwa volume dari sebuah tabung berbanding
terbalik dengan tekanan yang ada di dalamnya. Hukum Boyle lahir dari pompa ini.
POMPA udara Boyle adalah mesin yang memproduksi fakta dan menguji keabsahan suatu pengetahuan. Bagi Boyle, fakta ilmiah hanya dapat lahir dari eksperimen yang dilakukan secara empiris. Di sinilah tonggak awal sains modern dimulai. Eksperimen menjadi bagian signifikan dalam epistemologi sains. Eksperimen adalah ruang di mana fakta ilmiah "ditemukan". Dalam sains, fakta ilmiah bersifat self-explanatory, dalam arti dia menjelaskan dirinya sendiri. Saintis "hanyalah" pengamat yang menjadi modest witness atau saksi jujur bagaimana fakta tersebut dimunculkan melalui suatu konfigurasi teknis material. Klaim obyektivisme menuntut saintis untuk berada di wilayah yang terpisah dari fakta yang diamatinya.
POMPA udara Boyle adalah mesin yang memproduksi fakta dan menguji keabsahan suatu pengetahuan. Bagi Boyle, fakta ilmiah hanya dapat lahir dari eksperimen yang dilakukan secara empiris. Di sinilah tonggak awal sains modern dimulai. Eksperimen menjadi bagian signifikan dalam epistemologi sains. Eksperimen adalah ruang di mana fakta ilmiah "ditemukan". Dalam sains, fakta ilmiah bersifat self-explanatory, dalam arti dia menjelaskan dirinya sendiri. Saintis "hanyalah" pengamat yang menjadi modest witness atau saksi jujur bagaimana fakta tersebut dimunculkan melalui suatu konfigurasi teknis material. Klaim obyektivisme menuntut saintis untuk berada di wilayah yang terpisah dari fakta yang diamatinya.
Apakah
suatu obyek pengetahuan bersifat self-explanatory? Di manakah sebenarnya posisi
ontologis manusia dalam proses produksi pengetahuan dalam sains? Sejauh manakah
klaim atas obyektivitas sains dapat dijadikan pegangan? Apakah sains merupakan
suatu ruang vakum yang lepas sama sekali dari segala bentuk imajinasi manusia?
Pertanyaan-pertanyaan besar inilah yang menjadi landasan dan motivasi bagi
studi sains kontemporer dalam memahami relasi antara manusia dan ilmu
pengetahuan yang dihasilkannya.
Bagi
para sarjana studi sains (science studies), sains adalah produk sosial. Dia
diproduksi melalui mekanisme interaksi dan negosiasi yang terbentuk dari suatu
sistem sosial yang sarat dengan bentukan-bentukan imajinatif, seperti nilai,
makna, cara pandang, ideologi, dan kepercayaan. Memahami sains melalui dimensi
sosial secara epistemologis menarik sekaligus menantang. Menarik karena sains
adalah karya manusia, di mana manusia itu sendiri adalah spesies yang tidak
pernah lepas dari dunia sosial. Menantang karena pengetahuan ilmiah selama ini
dipahami sebagai hasil murni kemampuan logika manusia yang lepas dari faktor
sosial.
Generasi awal
Berkembangnya
sains modern di Eropa yang dipicu oleh semangat Enlightenment telah menjadi
perhatian banyak pemikir sosial abad ke-19. Dalam catatan Sal Restivo, sains
telah menjadi salah satu kajian dalam karya Karl Marx. Bagi Marx, tidak hanya
material dan bahasa yang digunakan para saintis dalam mengamati fenomena alam
adalah produk sosial, keberadaan para saintis juga merupakan suatu fenomena
sosial. Beberapa kontribusi terpenting Marx dalam studi sains antara lain
pemahaman relasi antara praktik matematika dan sistem produksi. Bagi Marx,
sains adalah produk kaum borjuis. Karena itu, apa yang dilakukan Marx dalam
memahami sains berlanjut pada agenda politik untuk melakukan perubahan
fundamental dalam sains modern. Pada titik ini, dalam analisis Restivo, Marx
bersikap inkonsisten. Pada satu sisi dia mengkritik sains sebagai alat
eksploitasi kaum pemilik modal, tetapi di sisi lain dia mendukung penggunaan
sains bagi tujuan-tujuan politik kaum proletar.
Cikal
bakal studi sains dibentuk oleh Emile Durkheim dan Max Weber. Seperti Marx,
keduanya memahami sains dari sudut pandang sosiologis. Bagi Durkheim,
konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan dalam sains memiliki status representasi
dan elaborasi kolektif. Weber sendiri memberi perhatian serius pada keterkaitan
antara kapitalisme, Protestanisme, dan sains modern. Pemikiran Weber dan
Durkheim memberi jalan bagi terbentuknya sosiologi sains sebagai suatu disiplin
dalam tradisi akademik di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Mertonian vs Kuhnian
Munculnya
sosiologi sains sebagai suatu disiplin pada awal abad ke-20 banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Max Weber. Robert Merton adalah sosok sentral dalam bidang ini
dan dapat disebut sebagai bapak sosiologi sains. Merton menyelesaikan studinya
di Harvard pada tahun 1934 dengan disertasi yang menjadi buku berjudul The
Sociology of Science. Buku ini menjelaskan relasi antara sains dan institusi
sosial di mana sains itu berada. Tesis Merton mengatakan bahwa sains modern
hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi sosiokultural tertentu.
Hingga
dekade 1970-an, paradigma Mertonian mendominasi perkembangan sosiologi sains.
Gagasan besar dalam sosiologi sains Mertonian dapat dirangkum dalam norma sains
(norms of science) yang terdiri atas empat nilai fundamental yang membentuk
etos sains.
Pertama
universalisme, yakni kepercayaan bahwa klaim kebenaran lepas dari kriteria
personal seperti ras, kebangsaan, atau agama. Kedua komunisme (bukan dalam
makna ideologi), yakni setiap penemuan dalam sains menjadi milik bersama dalam
komunitas sains tersebut. Ketiga ketiadaan kepentingan, yakni pengetahuan
bersifat bebas nilai dan kepentingan. Keempat skeptisisme yang terorganisasi,
yakni bahwa perkembangan pengetahuan muncul dari sikap skeptis kolektif para
saintis terhadap setiap pemahaman atas fenomena alam.
Sosiologi
sains Mertonian berlandaskan pada satu asumsi bahwa sifat dan perkembangan
sains ditentukan oleh faktor sosial dan faktor imanen. Yang dimaksud dengan
faktor imanen adalah perkembangan logika dalam sains (inner logic). Dari sini
kita bisa melihat bahwa dalam sosiologi sains Mertonian, pengetahuan ilmiah
masih lepas dari analisis sosial. Belakangan norma sains Mertonian mendapat
kritik tajam karena keempat norma tersebut tidak lebih dari representasi ideologi
sains itu sendiri.
Pada
tahun 1962, Thomas Kuhn, seorang fisikawan yang kemudian berkarier sebagai
sejarawan sains, menerbitkan The Structure of Scientific Revolution. Lewat buku
ini Kuhn melontarkan istilah paradigma yang mengacu pada cara pandang kelompok
ilmiah tertentu terhadap suatu fenomena. Walaupun tidak memiliki latar belakang
sosiologi, karya Kuhn memberi kontribusi penting dalam sosiologi sains. Kuhn
memberi penjelasan alternatif terhadap apa yang dilakukan Merton selama
beberapa dekade sebelumnya. Karena itu, paradigma Kuhnian sering diasosiasikan
sebagai anti-Mertonian.
Karya
Kuhn menarik banyak orang karena dia menggunakan model politik dalam
menjelaskan perkembangan sains. Kuhn memakai istilah revolusi untuk
menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi penekanan serius pada
aspek wacana ilmiah. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah dan revolusi politik memiliki
karakter yang sama. Keduanya terbentuk dari persepsi yang ada di masyarakat
bahwa institusi di mana mereka berada sudah tidak bekerja dengan baik. Persepsi
ini lalu menstimulus lahirnya krisis yang menuju pada revolusi dengan tujuan
perubahan institusional.
Orientasi
anti-Mertonian bagaimanapun tidak menjadikan Kuhn sepenuhnya bertolak belakang
dengan Merton. Kuhn masih menerima penjelasan Merton tentang norma sains.
Walaupun telah memicu perubahan dalam pemahaman sains, Kuhn sendiri tidak lepas
dari kritikan. Studi empiris yang dilakukan Sal Restivo dan Randal Collins
tentang paradigma sains Kuhnian menyimpulkan bahwa pola perubahan dalam sains
secara substansial berbeda dengan apa yang dilontarkan oleh Kuhn. Model Kuhnian
juga dikritik karena mengacu pada revolusi sistem politik modern yang
semata-mata terjadi melalui sirkulasi kaum elite.
Genre konstruktivisme
Jika
Max Weber membuka jalan bagi terbentuknya disiplin sosiologi sains, khususnya
paradigma Mertonian, pemikiran Emile Durkheim tentang representasi kolektif
memberi inspirasi bagi gerakan sosiologi sains pasca-Mertonian atau yang
disebut sebagai the new sociology of science. Sosiologi sains baru tidak hanya
mengkaji aspek institusional dalam sains, tetapi masuk ke dalam wilayah yang
lebih dalam. Di sini pengetahuan ilmiah dijadikan obyek analisis sosial,
sesuatu yang tidak dilakukan oleh Merton dan para muridnya. Karena itu, sosiologi
sains baru sering diidentikkan dengan sosiologi pengetahuan ilmiah (sociology
of scientific knowledge).
Ciri
kuat dari sosiologi sains baru adalah penggunaan kerangka konstruktivisme.
Konsep konstruktivisme sosial yang menjelaskan produksi pengetahuan ilmiah
pertama kali digunakan Ludwik Fleck dalam bukunya, The Genesis and Development
of a Scientific Fact. Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1935 dalam bahasa
Jerman. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1979, barulah
pemikiran Fleck mendapat perhatian serius dari para sarjana studi sains.
Fleck
memperkenalkan konsep gaya berpikir (thought style) yang menyerupai konsep
representasi kolektif Durkheimian. Gaya berpikir mengacu pada perilaku
berpikir, asumsi kultural dan keilmuan, pendidikan dan pelatihan profesional,
serta minat dan kesempatan, yang mana kesemuanya membentuk persepsi dan cara
menghasilkan teori (theorizing).
Strong
Programme adalah salah satu kubu studi sains yang kental dengan pendekatan
konstruktivisme. Tokoh sentral Strong Programme adalah David Bloor. Bagi Bloor,
sains tidaklah berkembang secara linier seperti yang dipahami secara luas.
Sains berkembang membentuk cabang-cabang yang kompleks sesuai dengan
heterogenitas dalam sistem sosial. Diterimanya suatu konsep ilmiah sebagai
paradigma tunggal dalam memahami suatu fenomena tidak lain karena adanya faktor
dan konteks sosial tertentu yang bekerja dalam proses penerimaan itu. Karena
itu, pengetahuan dalam sains dapat berbeda mengikuti bentukan sosial.
Tokoh
lain dalam gerakan sosiologi sains baru adalah Bruno Latour. Latour adalah
salah satu penggagas actor-network theory (ANT) yang menjelaskan lahirnya suatu
pengetahuan melalui relasi antara masyarakat (konstruktivisme sosial) dan alam
(realisme). Dalam ANT, sosiolog sains memberikan perhatian tidak semata-mata
pada manusia (actant), tapi juga pada benda dan obyek (non-actant) secara
simetris. Bersama Steve Woolgar, Latour melakukan studi etnografi di
laboratorium endocrinology Salk Institute.
Hasil
studi ini menghasilkan Laboratory Life: The Social Construction of Scientific
Facts. Dalam buku ini Latour dan Woolgar mengungkap budaya dalam laboratorium
yang membentuk korespondensi antara kelompok peneliti sebagai suatu jaringan
dengan seperangkat kepercayaan, perilaku, pengetahuan yang sistematis,
eksperimen, dan keterampilan yang terkait satu sama lain secara kompleks.
Menurut Latour dan Woolgar, dalam suatu laboratorium, kegiatan observasi
bersifat lokal dan memiliki budaya spesifik.
Andrew
Pickering patut disebut dalam khazanah sosiologi sains baru. Dalam Constructing
Quarks, Pickering yang memiliki latar belakang fisika teori menjelaskan secara
sosiologis lahirnya konsep quark. Bagi kalangan fisikawan, quark lahir dari
bukti empirik yang didapatkan melalui eksperimen. Eksperimen itu sendiri dapat
dipahami secara sempurna karena bekerja dalam suatu sistem yang tertutup
(closed system).
Permasalahannya,
menurut Pickering, eksperimen bukanlah suatu sistem yang tertutup. Dia sangat
tergantung pada teori yang menjadi landasannya. Di lain pihak, pemilihan teori
sebagai raison d’etre suatu eksperimen tergantung dari penilaian (judgment)
para saintis. Pada titik inilah praktik sains dibangun melalui tiga elemen yang
saling mempengaruhi satu sama lain, yakni eksperimen, teori, dan penilaian.
Karena itu, menurut Pickering, realitas quark adalah hasil dari praktik fisika
partikel, bukan sebaliknya. Konsep quark lahir dari proses penilaian dan
pemilihan teori dan tidak muncul begitu saja dari serangkaian eksperimen.
Kerangka
konstruktivisme dalam studi sains telah memicu konflik intelektual antara para
saintis dan para sarjana studi sains. Penjelasan konstruktivisme sosial
dianggap ancaman terhadap integritas, legitimasi, dan otonomi sains.
Konstruktivisme, yang sering diasosiasikan sebagai relativisme, dianggap
menafikan apa yang telah dicapai sains dalam memahami fenomena alam. Tetapi,
seperti yang dijelaskan oleh Restivo, para konstruktivis dalam studi sains
bukanlah antirealisme. Tidak sedikit dari mereka yang mempertahankan metode dan
cara pandang dalam sains. Sebagai contoh adalah Strong Programme yang secara
epistemologis menggabungkan metode sains dan sosiologi dalam memahami sains
sebagai konstruksi sosial. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bloor sendiri
bahwa hanya dengan metode sains, para sosiolog dapat memahami sains. Kasus
Latour juga tak kalah menarik. Dalam edisi kedua Laboratory Life, kata social
dalam subjudul dihilangkan. Tidak lama setelah itu tuduhan sebagai
"pengkhianat" konstruktivisme ditujukan kepada Latour. Belakangan
Latour sendiri menolak untuk disebut sebagai konstruktivis. Bagi Latour, sains
adalah media untuk memahami masyarakat, bukan sebaliknya.
Sains dan budaya
Memasuki
dekade tahun 1990-an, studi sains menjadi lebih semarak dengan bergabungnya para
antropolog dalam tradisi intelektual ini. Selama lebih dari satu dekade
terakhir, para sarjana studi sains dari disiplin ini memberi kontribusi dalam
memahami bagaimana pengetahuan dalam sains diproduksi melalui proses pemaknaan
dan praktik budaya.
Pemahaman
budaya dalam sains dijelaskan oleh Timothy Lenoir. Lenoir berargumen bahwa
pengetahuan adalah hasil interpretasi di mana obyek pengetahuan dan pengamat
(interpreter) tidak berdiri secara terpisah satu sama lainnya. Aktivitas
interpretasi adalah praktik budaya yang melibatkan faktor kognitif dan faktor
sosial yang saling berimplikasi satu sama lain. Kedua faktor ini senantiasa
melekat pada para pelaku produksi pengetahuan (saintis). Dengan pemahaman sains
sebagai praktik budaya, Lenoir menolak klaim Merton tentang universalisme dan
disinterestedness dalam sains karena pengetahuan selalu bersifat lokal,
parsial, dan dilandasi kepentingan.
Secara
antropologis, sistem pengetahuan terbentuk dari upaya manusia untuk bertahan
hidup melalui pemahaman regularitas yang terjadi di alam. Sandra Harding
mengidentifikasi empat jenis elemen budaya yang membentuk inti kognitif dari
sistem pengetahuan. Pertama, karena alam tidak bersifat seragam (uniformly
organized), regularitas alam yang berbeda yang dialami oleh sistem kebudayaan
yang berbeda lokasi akan menghasilkan sistem pengetahuan yang berbeda pula.
Kedua, bentuk kepentingan sosial berbeda dalam setiap sistem budaya. Karena
itu, setiap sistem budaya menghasilkan perbedaan dalam pola pengetahuan.
Ketiga, sistem budaya membentuk wacana dalam proses produksi pengetahuan yang
selanjutnya mempengaruhi cara pandang dan pola intervensi masyarakat dalam
sistem budaya tersebut. Terakhir, bentuk-bentuk organisasi sosial dalam
penelitian ilmiah yang berbeda secara kultural akan mempengaruhi isi dari
sistem pengetahuan.
Catatan
Harding di atas mengindikasikan bahwa sains dikonstruksi melalui budaya.
Artinya, wacana sistem pengetahuan tidak pernah lepas dari konteks budaya di
mana sistem pengetahuan tersebut berada. Studi Pamela Asquith dapat dijadikan
satu contoh menarik. Asquith melakukan studi komparasi kultural dan intelektual
antara primatologi Barat (Eropa dan Amerika) dan primatologi Jepang. Asquith
mencari heterogenitas dalam sains dengan membandingkan cara pandang, bentuk
pertanyaan, dan metode penelitian primatologi di kedua sistem budaya tersebut.
Dari studi ini, Asquith mengamati satu hal yang menarik. Dalam pandangan
Kristen yang mempengaruhi para primatologis Barat, hanya manusia yang memiliki
jiwa. Pandangan ini "menghalangi" primatologis Barat untuk melihat
kualitas mental yang membentuk perilaku sosial primata yang kompleks.
Sebaliknya, sistem kepercayaan masyarakat Jepang mempercayai bahwa setiap hewan
memiliki jiwa. Hal ini membuat primatologis Jepang memberi perhatian serius
pada atribut motivasi, perasaan, dan personalitas yang ditunjukkan oleh hewan
primata yang mereka amati. Perbedaan sistem kepercayaan tentang posisi manusia
di dunia ini menjadikan pengetahuan yang dihasilkan oleh primatologis Barat
berbeda dengan rekan sejawatnya di Jepang. Primatologi Barat cenderung bersifat
fisiologis, sementara primatologi Jepang lebih bersifat sosiologis dan
antropormorfis. Perbedaan ini berdampak pada perbedaan pengetahuan yang
dihasilkan dalam kedua tradisi primatologi tersebut walaupun mereka mengamati
obyek yang sejenis.
Studi
komparasi kultural juga dilakukan Sharon Traweek yang membandingkan praktik
fisika energi tinggi di Amerika Serikat dan Jepang. Jika Asquith mencari
pengaruh budaya terhadap bentuk pengetahuan, Traweek mengamati bagaimana nilai
budaya direpresentasikan melalui model organisasi sains. Pada studi ini,
Traweek melihat nilai individualisme dan persaingan yang melandasi sistem
organisasi riset Amerika. Adapun di Jepang, nilai-nilai komunalisme dan kerja
sama sangat dominan. Perbedaan dalam nilai budaya ini terefleksi dalam banyak
hal yang mencakup proses pembelajaran dan pengajaran, organisasi laboratorium
dan kelompok, gaya kepemimpinan, dan proses pengambilan keputusan. Walaupun
Traweek tidak menjelaskan apakah perbedaan nilai budaya ini mempengaruhi
pengetahuan yang dihasilkan, setidaknya studi Traweek menunjukkan bahwa nilai
budaya melekat erat pada sistem organisasi ilmiah.
Jika
Asquith dan Traweek mengamati praktik sains dalam dua sistem budaya, Karen
Knorr-Cetina membandingkan dua praktik sains modern, yaitu fisika partikel dan
biologi molekuler. Knorr-Cetina mengamati bagaimana fragmentasi dan diversitas
dalam sains modern membentuk dua budaya pengetahuan (epistemic culture) yang
berbeda dalam aspek cara mengetahui (machineries of knowing). Dari hasil
studinya selama beberapa tahun di laboratorium-laboratorium di Eropa dan
Amerika Utara, Knorr-Cetina mengungkap perbedaan struktur simbolik dari kedua
bidang ilmiah tersebut. Struktur simbolik ini terepresentasi melalui cara
pendefinisian entitas, sistem klasifikasi, dan cara di mana strategi epistemik,
prosedur empirik, dan strategi sosial dipahami. Analisis ini menghasilkan
pemahaman bahwa dalam proses produksi pengetahuan, proses tanda, pengerjaan
eksperimen, relasi antara waktu dan ruang, dan relasi antara tubuh dan mesin
secara kultural berbeda antara praktik fisika partikel dan biologi molekuler.
Melalui studi komparasi silang disiplin ini, Knorr-Cetina mengatakan bahwa
sains modern tidaklah menyatu seperti yang diklaim kaum positivis.
Sains dan studi sains
Konsep
dan teori yang dikembangkan dalam studi sains berangkat dari pemahaman sains
sebagai institusi sosial dan pengetahuan ilmiah sebagai produk sosial. Melalui
pemahaman ini, studi sains membuka suatu jendela baru di mana kita bisa
memandang perkembangan sains dari perspektif yang lebih luas. Dalam perspektif
ini, sains tidak lagi muncul sebagai suatu entitas yang integratif, rigid, dan
berkembang secara linier, melainkan bagai suatu tanaman bercabang-cabang yang
tumbuh di atas tanah sosial.
Pemahaman
sains melalui dimensi sosial yang ditawarkan studi sains berdampak pada
demistifikasi sains secara institusional ataupun epistemologikal. Ini merupakan
implikasi politis yang tidak dapat dihindari. Ketergantungan masyarakat
kontemporer terhadap sains telah menempatkan sains pada posisi sakral dan
bersifat ideologis. Mistifikasi sains yang begitu kental dalam masyarakat ini
memungkinkan praktik hegemoni kekuasaan dan kepentingan bersembunyi dengan rapi
di balik jargon-jargon ilmiah. Tanpa menafikan apa yang telah dihasilkan sains
bagi umat manusia, studi sains memberi penyadaran kepada diri kita bahwa sains
adalah hasil karya manusia dalam berinteraksi dengan alam. Sains bukanlah
sekumpulan ayat-ayat suci yang turun dari langit. Pengetahuan ilmiah adalah
wujud kreativitas dan imajinasi manusia dalam memahami ruang dan waktu di mana
dia berada. Pemahaman dimensi sosial sains dapat menjadi lensa untuk melihat
bahwa pengetahuan tidaklah tunggal dan monolitik. Kepercayaan bahwa hanya ada
satu cara melihat alam justru melawan hakikat manusia sebagai makhluk
multikultural.
Lalu,
apakah studi sains menawarkan relativisme? Donna Haraway memberi jawaban
menarik. Haraway menolak relativisme sekaligus universalisme yang diklaim para
saintis. Haraway berargumen bahwa obyektivitas dalam sains tidaklah tunggal.
Karena itu Haraway menawarkan praktik difraksi, di mana obyektivitas dan
realisme agensi dalam produksi pengetahuan memiliki posisi yang sama pentingnya.
Ini yang disebut Ron Eglash sebagai obyektivitas ganda (multiple objectivity).
Haraway mengajak kita untuk menggunakan domain budaya lain dalam sains yang
selama ini termarginalisasi oleh dominasi narasi budaya Barat. Hawaray
menginginkan adanya suatu budaya sains yang lebih kompleks dan beragam tanpa
harus menjadi antirealisme.
Selama
beberapa dekade, studi sains telah memberi kontribusi pada pemahaman yang lebih
komprehensif tentang sains dan relasinya dengan masyarakat. Lepas dari konflik
antara para saintis dan sarjana studi sains dalam episode Science Wars, apa
yang dihasilkan dalam studi sains sedikit banyak telah mempengaruhi perjalanan
sains secara dinamis. Sebaliknya, sains pun telah memberi banyak kontribusi
bagi studi sains untuk tumbuh dan berkembang sebagai suatu disiplin. Karena
tanpa sains, studi sains tidak berarti apa-apa.


No comments:
Post a Comment