IBIECA
adalah nama sebuah desa kecil di sebelah timur laut Spanyol. Beberapa bangunan
tua peninggalan kerajaan Spanyol abad ke-13 tampak masih kokoh berdiri. Sekitar
seratus keluarga mendiami Ibieca. Tidak semata-mata jumlah kecil ini yang
menciptakan keakraban di antara para penduduk. Di salah satu sudut desa
terdapat sebuah tempat istimewa. Sebuah pancuran dengan aliran air yang jernih
dan dingin. Di sinilah para Ibiecan setiap hari bertemu dan bercengkerama satu
sama lain. Mereka bersenda gurau di sela-sela aktivitas menimba air yang
biasanya dikerjakan kaum lelaki pada saat kaum perempuan sibuk menggosok cucian
yang menumpuk. Suasana air pancuran semakin ramai dengan teriakan riang gembira
anak-anak kecil yang bermain air sambil bertelanjang dada. Bagi Ibiecan, air
pancuran adalah pusat segala aktivitas sosial mereka. Dari gagasan-gagasan
serius hingga gosip si ini jatuh hati dengan si itu, semuanya mengalir sama
derasnya dengan air pancuran tersebut.
SUATU
hari penduduk Ibieca menerima kabar bahwa tidak lama lagi di desa Ibieca akan
terpasang pipa-pipa besi yang mengantarkan air langsung ke rumah-rumah.
Penduduk Ibieca pun dengan serta-merta menyambut riang gembira. Dengan
kedatangan teknologi tersebut, kaum lelaki merasa senang karena mereka tidak
perlu lagi mengeluarkan tenaga untuk menimba dan membawa air ke rumah. Kaum
perempuan pun tidak kalah antusiasnya. Mereka segera berbondong-bondong membeli
mesin cuci untuk dipakai di rumah masing-masing.
Tanpa disadari teknologi mengubah kehidupan sosial desa Ibieca. Dengan dipasangnya pipa air ke rumah-rumah, penduduk Ibieca tidak lagi melakukan kegiatan rutinitas mereka di air pancuran. Interaksi sosial yang selama ini mereka lakukan menghilang. Kaum lelaki tidak lagi akrab dengan keledai peliharaan mereka yang biasa membantu membawa air. Para perempuan tidak lagi berbagi cerita tentang keadaan desa yang biasa mereka lakukan di air pancuran. Suara anak kecil riang gembira menghilang dari warna desa karena mereka sibuk bermain di rumah masing-masing. Teknologi telah mengubah ikatan sosial kultural yang kuat di antara Ibiecan, sebuah ikatan yang membentuk kaum Ibiecan sebagai sebuah komunitas.
Kisah Desa Ibieca seperti yang dikutip Richard Sclove di atas adalah sebuah parabel modernitas yang menunjukkan bagaimana sebuah tatanan sistem sosial mengalami perubahan dengan adanya intervensi teknologi. Ibieca tidaklah sendiri. Sejarah sosial kultural manusia penuh dengan perubahan yang dipicu oleh utilisasi teknologi di masyarakat.
Tanpa disadari teknologi mengubah kehidupan sosial desa Ibieca. Dengan dipasangnya pipa air ke rumah-rumah, penduduk Ibieca tidak lagi melakukan kegiatan rutinitas mereka di air pancuran. Interaksi sosial yang selama ini mereka lakukan menghilang. Kaum lelaki tidak lagi akrab dengan keledai peliharaan mereka yang biasa membantu membawa air. Para perempuan tidak lagi berbagi cerita tentang keadaan desa yang biasa mereka lakukan di air pancuran. Suara anak kecil riang gembira menghilang dari warna desa karena mereka sibuk bermain di rumah masing-masing. Teknologi telah mengubah ikatan sosial kultural yang kuat di antara Ibiecan, sebuah ikatan yang membentuk kaum Ibiecan sebagai sebuah komunitas.
Kisah Desa Ibieca seperti yang dikutip Richard Sclove di atas adalah sebuah parabel modernitas yang menunjukkan bagaimana sebuah tatanan sistem sosial mengalami perubahan dengan adanya intervensi teknologi. Ibieca tidaklah sendiri. Sejarah sosial kultural manusia penuh dengan perubahan yang dipicu oleh utilisasi teknologi di masyarakat.
Relasi
antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan bahwa teknologi
adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah bersikap pasif
terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai interaksi timbal
balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu melibatkan
dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara manusia
dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik karena
kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari setiap
episode sejarah manusia.
Dilema determinisme
Bagi
para praktisi teknologi, fungsi teknologi tidak perlu dipertanyakan lagi.
Teknologi diciptakan untuk membantu mengatasi keterbatasan fisik manusia. Dia
berperan sebagai media untuk mencapai kepuasaan material. Teknologi dibentuk
oleh parameter efisiensi dan efektivitas sedemikian rupa untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Pemahaman demikian berangkat dari asumsi bahwa teknologi
modern muncul dari rasionalitas dan kemampuan logika manusia dalam mengadopsi
prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah sains ke dalam artifak teknologis.
Pandangan instrumentalis di atas mungkin bisa diterima dalam tingkat pragmatis, tapi tidak dalam tingkat filosofis karena pandangan ini tidak cukup untuk menjelaskan makna dan implikasi teknologi bagi manusia. Lebih penting lagi, pandangan instrumentalis memiliki kecenderungan untuk mendewakan teknologi dan meletakkannya sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan simbol kemajuan peradaban manusia. Sikap ini melahirkan pandangan determinisme teknologi yang bersifat ideologis. Determinisme teknologi dalam pandangan instrumentalis ini mesti dicermati karena dia menafikan aspek moral dan etika dalam relasi antara manusia dan teknologi.
Pandangan instrumentalis di atas mungkin bisa diterima dalam tingkat pragmatis, tapi tidak dalam tingkat filosofis karena pandangan ini tidak cukup untuk menjelaskan makna dan implikasi teknologi bagi manusia. Lebih penting lagi, pandangan instrumentalis memiliki kecenderungan untuk mendewakan teknologi dan meletakkannya sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan simbol kemajuan peradaban manusia. Sikap ini melahirkan pandangan determinisme teknologi yang bersifat ideologis. Determinisme teknologi dalam pandangan instrumentalis ini mesti dicermati karena dia menafikan aspek moral dan etika dalam relasi antara manusia dan teknologi.
Determinisme
teknologi itu sendiri bukan hal yang baru. Dalam catatan Merritt Roe Smith,
paham determinisme teknologi telah muncul sejak awal revolusi industri. Gagasan
ini memikat para pemikir era Pencerahan dan semakin tumbuh subur di budaya
masyarakat Amerika Utara di mana semangat kemajuan melekat dengan kuat.
Determinisme teknologi berangkat dari satu asumsi bahwa teknologi adalah
kekuatan kunci dalam mengatur masyarakat. Dalam paham ini struktur sosial
dianggap sebagai kondisi yang terbentuk oleh materialitas teknologi. Paham ini
begitu dominan dalam masyarakat kontemporer, termasuk dalam lingkungan
akademik.
Selama tiga dekade terakhir, para sarjana studi sosial teknologi telah memberi respons kritis terhadap paham determinisme teknologi. Dalam analisis Andrew Feenberg, setidaknya dua premis dalam determinisme teknologi yang bermasalah. Pertama adalah asumsi bahwa teknologi berkembang secara unilinear dari konfigurasi sederhana ke yang lebih kompleks. Kedua adalah asumsi bahwa masyarakat harus tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia teknologi. Kedua premis tersebut sulit diterima karena pola-pola teknologi itu sendiri banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial, kultural, dan politik di mana teknologi itu berada.
Kritik terhadap determinisme teknologi merupakan respons terhadap implikasi politis ideologis yang dihasilkan oleh paham ini. Ini terjadi karena determinisme teknologi cenderung memaksakan suatu bentuk universalitas struktur institusional teknologi ke dalam masyarakat. Universalisasi institutional ini menjadi media hegemoni modernitas. Seperti yang diwaspadai oleh Rosalind Williams, determinisme teknologi memungkinkan motivasi politis, ekonomi, dan ideologis para pemilik modal masuk ke dalam sistem teknologi dan mengurangi otoritas masyarakat dalam memilih arah teknologi. Bagi David Noble, determinisme teknologi tidak hanya memberi penjelasan yang tidak akurat tentang relasi antara manusia dan teknologi, tetapi juga terlalu menyederhanakan dan bahkan mematikan makna dalam kehidupan manusia. Menurut Noble, pada satu sisi determinisme teknologi menawarkan janji-janji modernitas, tetapi di sisi lain memaksakan suatu bentuk fatalisme.
Selama tiga dekade terakhir, para sarjana studi sosial teknologi telah memberi respons kritis terhadap paham determinisme teknologi. Dalam analisis Andrew Feenberg, setidaknya dua premis dalam determinisme teknologi yang bermasalah. Pertama adalah asumsi bahwa teknologi berkembang secara unilinear dari konfigurasi sederhana ke yang lebih kompleks. Kedua adalah asumsi bahwa masyarakat harus tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia teknologi. Kedua premis tersebut sulit diterima karena pola-pola teknologi itu sendiri banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial, kultural, dan politik di mana teknologi itu berada.
Kritik terhadap determinisme teknologi merupakan respons terhadap implikasi politis ideologis yang dihasilkan oleh paham ini. Ini terjadi karena determinisme teknologi cenderung memaksakan suatu bentuk universalitas struktur institusional teknologi ke dalam masyarakat. Universalisasi institutional ini menjadi media hegemoni modernitas. Seperti yang diwaspadai oleh Rosalind Williams, determinisme teknologi memungkinkan motivasi politis, ekonomi, dan ideologis para pemilik modal masuk ke dalam sistem teknologi dan mengurangi otoritas masyarakat dalam memilih arah teknologi. Bagi David Noble, determinisme teknologi tidak hanya memberi penjelasan yang tidak akurat tentang relasi antara manusia dan teknologi, tetapi juga terlalu menyederhanakan dan bahkan mematikan makna dalam kehidupan manusia. Menurut Noble, pada satu sisi determinisme teknologi menawarkan janji-janji modernitas, tetapi di sisi lain memaksakan suatu bentuk fatalisme.
Fenomenologi teknologi
Bagaimanakah
relasi antara manusia dan teknologi terjadi? Fenomenologi adalah kendaraan
untuk mencari jawabannya. Studi fenomenologi teknologi mengeksplorasi
pengalaman manusia dan secara spesifik menjelaskan bagaimana struktur
pengalaman yang bersifat multidimensi tersebut tersusun. Setidaknya itu yang
dilakukan Don Ihde untuk memahami relasi antara manusia dan teknologi secara
komprehensif.
Berangkat dari eksistensialisme Heideggerian, Ihde mengembangkan "ontologi relativistis" untuk memahami keberadaan manusia dalam wilayah teknologi. Ontologi relativistis bukan relativisme, melainkan lebih sebagai media untuk menganalisis relasionalitas antara manusia yang mengalami (human experiencer) dan wilayah yang dialami (the field of experience). Analisis relasionalitas ini dilakukan melalui dua kategori persepsi, yakni persepsi mikro yang bersifat indrawi dan persepsi makro yang bersifat kultural atau hermeneutik. Bagi Ihde, kedua jenis persepsi ini saling terikat satu sama lain. Persepsi mikro tidak pernah lepas dari konteks persepsi makro. Sebaliknya, persepsi makro tidak akan pernah ada tanpa dorongan persepsi mikro.
Berangkat dari eksistensialisme Heideggerian, Ihde mengembangkan "ontologi relativistis" untuk memahami keberadaan manusia dalam wilayah teknologi. Ontologi relativistis bukan relativisme, melainkan lebih sebagai media untuk menganalisis relasionalitas antara manusia yang mengalami (human experiencer) dan wilayah yang dialami (the field of experience). Analisis relasionalitas ini dilakukan melalui dua kategori persepsi, yakni persepsi mikro yang bersifat indrawi dan persepsi makro yang bersifat kultural atau hermeneutik. Bagi Ihde, kedua jenis persepsi ini saling terikat satu sama lain. Persepsi mikro tidak pernah lepas dari konteks persepsi makro. Sebaliknya, persepsi makro tidak akan pernah ada tanpa dorongan persepsi mikro.
Melalui
fenomenologi persepsi ini, Ihde menawarkan konsep multistabilitas untuk
menggali lebih dalam ke wilayah kompleksitas budaya teknologi. Konsep
multistabilitas menekankan bahwa relasi antara manusia dan teknologi tidak
tunggal. Relasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk walaupun dengan artefak
teknologi yang sama. Multistabilitas meletakkan teknologi tidak dalam satu
posisi hermeneutik, tapi dalam berbagai titik relasi dengan manusia. Karena
itu, teknologi bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural di
mana dia berada. Dengan kata lain, makna sebuah artefak teknologi akan selalu
berubah sesuai dengan masyarakat yang memaknainya.
Bentukan sosial teknologi
Prinsip-prinsip
dalam fenomenologi teknologi tidak menjadi barang eksklusif dalam studi
filsafat. Jika kita menilik secara saksama, fenomenologi menjadi dasar
metodologi studi sosial teknologi, khususnya sosiologi teknologi dalam memahami
relasi antara teknologi dan masyarakat. Bagi para sosiolog teknologi, teknologi
merupakan cermin dari proses imbal-balik yang kompleks yang terjadi di
masyarakat. Dalam perspektif ini, berhasil atau gagalnya teknologi bukanlah hal
yang penting karena pada dasarnya teknologi adalah hasil sebuah kompromi.
Proses-proses sosial yang membentuk teknologi adalah refleksi dari cara kita
hidup dan mengatur masyarakat.
Selama
dua dekade terakhir, sosiologi teknologi telah membangun berbagai model sosial
untuk menjelaskan perkembangan teknologi dan mencari tahu apa dan bagaimana
faktor-faktor sosial bekerja dalam proses tersebut. Salah satu konsep dalam
sosiologi teknologi saat ini adalah social construction of technology (SCOT)
dengan Wiebe Bijker dan Trevor Pinch sebagai pelopornya. SCOT sendiri diilhami
oleh sosiologi pengetahuan ilmiah yang sangat kental dengan muatan
konstruktivisme. Tidak heran jika pendekatan konstruktivisme dalam studi sains
di impor ke dalam SCOT dan menjadi inti dari konsep ini.
Konsep
SCOT bertujuan untuk memberi penjelasan alternatif terhadap argumen
deterministik para ahli ekonomi teknologi, seperti Giovanni Dosi, Richard
Nelson, Christopher Freeman, dan kawan kawan. Menurut para ahli ekonomi
tersebut, teknologi berkembang mengikuti suatu lajur tertentu dan lajur ini
dapat diprediksi atau setidaknya dapat diidentifikasi. Bagi Bijker dan Pinch,
tesis ini terlalu mengada-ada. Perkembangan teknologi tidaklah otonom dan tidak
melalui suatu momentum yang bersifat inheren. Kita tidak bisa membuat suatu
aturan bagaimana teknologi harus berkembang karena dia bergerak secara tidak
pasti. Dia sangat bergantung pada faktor-faktor sosial yang kompleks. Jika
suatu teknologi mengalami perubahan, hal itu karena adanya kondisi eksternal
yang mendorongnya untuk berubah.
Gagasan SCOT berpusat pada tesis bahwa perkembangan teknologi dalam suatu sistem sosial melewati tiga fase melalui interaksi kelompok sosial relevan yang memiliki kepentingan dan memberi makna terhadap suatu artifak teknologi. Pada fase pertama terjadi fleksibilitas interpretatif di mana sejumlah kelompok sosial menginterpretasikan suatu artefak teknologi secara berbeda. Pada fase kedua terjadi proses stabilisasi melalui interaksi antarkelompok sosial. Fase ini diwarnai dengan konflik dan negosiasi antara kelompok sosial yang berujung pada sebuah kompromi. Fase ketiga tercapai setelah para kelompok sosial mencapai suatu "persetujuan" akan makna dari artifak teknologi tersebut. Pada fase ini desain dari artefak teknologi menjadi stabil.
Gagasan SCOT berpusat pada tesis bahwa perkembangan teknologi dalam suatu sistem sosial melewati tiga fase melalui interaksi kelompok sosial relevan yang memiliki kepentingan dan memberi makna terhadap suatu artifak teknologi. Pada fase pertama terjadi fleksibilitas interpretatif di mana sejumlah kelompok sosial menginterpretasikan suatu artefak teknologi secara berbeda. Pada fase kedua terjadi proses stabilisasi melalui interaksi antarkelompok sosial. Fase ini diwarnai dengan konflik dan negosiasi antara kelompok sosial yang berujung pada sebuah kompromi. Fase ketiga tercapai setelah para kelompok sosial mencapai suatu "persetujuan" akan makna dari artifak teknologi tersebut. Pada fase ini desain dari artefak teknologi menjadi stabil.
Secara
empiris, SCOT telah banyak dipakai oleh peneliti dalam memahami bagaimana suatu
teknologi berkembang menjadi seperti sekarang. Para peneliti sosial teknologi
menggunakan model SCOT untuk memahami perkembangan berbagai teknologi, mulai
dari yang sederhana, seperti sepeda, bakelit, dan bola lampu, hingga yang
kompleks, seperti sistem elektrifikasi, peluru kendali, dan Internet.
Lepas dari keberhasilan ini, SCOT menerima beberapa kritikan. Langdon Winner mengkritik SCOT karena terlalu apolitis dan tidak menghiraukan konsekuensi sosial dari pilihan teknologi. Sementara itu, Hans Klein dan Daniel Kleinman mengkritik SCOT karena kadar peran individu yang terlalu besar sehingga cenderung menafikan struktur sosial dalam analisisnya. Karena itu, tidak heran jika SCOT gagal menjelaskan peran kondisi struktural dalam perkembangan teknologi. Satu poin yang paling penting dari kritik Klein dan Kleinman adalah SCOT mengabaikan satu hal yang sangat krusial dalam proses pengembangan teknologi, yakni faktor kekuasaan.
Lepas dari keberhasilan ini, SCOT menerima beberapa kritikan. Langdon Winner mengkritik SCOT karena terlalu apolitis dan tidak menghiraukan konsekuensi sosial dari pilihan teknologi. Sementara itu, Hans Klein dan Daniel Kleinman mengkritik SCOT karena kadar peran individu yang terlalu besar sehingga cenderung menafikan struktur sosial dalam analisisnya. Karena itu, tidak heran jika SCOT gagal menjelaskan peran kondisi struktural dalam perkembangan teknologi. Satu poin yang paling penting dari kritik Klein dan Kleinman adalah SCOT mengabaikan satu hal yang sangat krusial dalam proses pengembangan teknologi, yakni faktor kekuasaan.
Kekuasaan dalam konfigurasi
Relasi
kekuasaan dan teknologi adalah sebuah tema besar dalam studi sosial teknologi.
Setidaknya tiga kasus menarik bisa kita amati dalam domain ini untuk melihat
bagaimana kekuasaan dan teknologi saling bereproduksi satu sama lain.
Kasus pertama adalah analisis Langdon Winner tentang jembatan di Long Island, New York, yang ditulis dalam artikelnya Do Artifacts Have Politics? Di sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island terdapat sekitar puluhan jembatan penyeberangan. Selintas tidak ada hal yang istimewa dari jembatan-jembatan tersebut. Tetapi, jika diamati dengan saksama, proporsi jembatan tersebut tidaklah "normal". Tinggi jembatan tersebut hanya sekitar 2,7 meter sehingga hanya mobil sedan yang dapat lewat di bawahnya.
Kasus pertama adalah analisis Langdon Winner tentang jembatan di Long Island, New York, yang ditulis dalam artikelnya Do Artifacts Have Politics? Di sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island terdapat sekitar puluhan jembatan penyeberangan. Selintas tidak ada hal yang istimewa dari jembatan-jembatan tersebut. Tetapi, jika diamati dengan saksama, proporsi jembatan tersebut tidaklah "normal". Tinggi jembatan tersebut hanya sekitar 2,7 meter sehingga hanya mobil sedan yang dapat lewat di bawahnya.
Menurut
Winner, keganjilan desain tersebut bukanlah karena alasan-alasan teknis,
misalnya defisiensi material atau efektivitas sistem konstruksi.
Jembatan-jembatan tersebut di desain dan dibangun dengan konfigurasi demikian
untuk menghasilkan suatu dampak sosial tertentu. Ini dilakukan dengan sengaja
oleh pendesainnya, yakni Robert Moses, seorang tokoh sentral dalam pembangunan
kota New York di awal abad ke-20.
Dari
investigasinya, Winner menemukan suatu agenda rasialis dan diskriminatif di
balik desain jembatan Long Island. Jembatan-jembatan tersebut dibangun sesuai
dengan spesifikasi yang diberikan oleh Moses untuk menghalangi masuknya bis ke
wilayah tersebut. Hal ini untuk membatasi akses kaum kelas bawah kulit hitam
dan hispanik yang biasanya menggunakan bis umum menuju ke Jones Beach, sebuah
pantai cantik berpasir putih di sebelah timur Long Island.
Kasus menarik lain datang dari studi David Noble tentang desain mesin kontrol numerik. Mesin kontrol numerik adalah sistem otomasi yang digunakan dalam membuat alat produksi barang manufaktur. Teknologi in pertama kali dikembangkan oleh William Pease dan James McDonough dari MIT pada tahun 1940-an. Melalui mesin ini, proses pembuatan alat dilakukan melalui proses numerik secara otomatis dengan tingkat kecepatan dan kepresisian yang tinggi.
Sebelum mesin kontrol numerik muncul, proses pembuatan alat menggunakan suatu jenis teknologi yang disebut record playback. Perbedaan mendasar antara mesin kontrol numerik dan record playback terdapat pada aspek pengontrolan manusia. Pada record playback, walaupun terjadi proses otomasi berupa pengulangan gerakan mesin, keberadaan seorang teknisi pada proses awal sangat mutlak karena di sinilah sumber keterampilan yang direkam oleh mesin. Dalam mesin kontrol numerik, peran dari teknisi dihilangkan dan diganti dengan suatu sistem representasi matematis.
Kasus menarik lain datang dari studi David Noble tentang desain mesin kontrol numerik. Mesin kontrol numerik adalah sistem otomasi yang digunakan dalam membuat alat produksi barang manufaktur. Teknologi in pertama kali dikembangkan oleh William Pease dan James McDonough dari MIT pada tahun 1940-an. Melalui mesin ini, proses pembuatan alat dilakukan melalui proses numerik secara otomatis dengan tingkat kecepatan dan kepresisian yang tinggi.
Sebelum mesin kontrol numerik muncul, proses pembuatan alat menggunakan suatu jenis teknologi yang disebut record playback. Perbedaan mendasar antara mesin kontrol numerik dan record playback terdapat pada aspek pengontrolan manusia. Pada record playback, walaupun terjadi proses otomasi berupa pengulangan gerakan mesin, keberadaan seorang teknisi pada proses awal sangat mutlak karena di sinilah sumber keterampilan yang direkam oleh mesin. Dalam mesin kontrol numerik, peran dari teknisi dihilangkan dan diganti dengan suatu sistem representasi matematis.
Walaupun
mesin kontrol numerik jelas superior dalam faktor teknis ekonomis, hal ini
tidak dapat menjelaskan sepenuhnya mengapa record playback tersingkir oleh
mesin tersebut. Dalam analisis Noble, terdapat suatu motivasi untuk
menghilangkan peran manusia dalam proses produksi karena manusia dianggap
sebagai sumber kesalahan dan ketidakpastian. Di sini rekayasa teknik digunakan
pemilik modal untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap pekerja melalui
peningkatan kontrol mereka atas sistem produksi.
Sekarang
mari kita memutar balik jarum jam kembali ke abad delapan belas di mana hidup
seorang filsuf Inggris bernama Jeremy Bentham. Bentham lahir di London dan
menyelesaikan studi hukum di Queen’s College, Oxford. Pada tahun 1791, Bentham
membuat usulan "aneh" yakni sebuah desain gedung penjara yang diberi
nama Panopticon yang berarti "melihat semuanya".
Panopticon
terdiri dari sel-sel yang disusun secara melingkar dengan pintu sel menghadap
ke dalam inti lingkaran tersebut. Dinding antarsel dibuat tebal agar komunikasi
antarpenghuni sel tidak terjadi. Di bagian belakang sel dipasang jendela kecil
agar cahaya dapat masuk menerangi isi sel. Di pusat lingkaran sel-sel tersebut
dibangun sebuah menara pengawas dengan jendela penutup. Dengan konfigurasi
seperti ini, si penjaga dapat melihat semua penghuni sel sementara penghuni sel
tidak dapat melihat si penjaga.
Michel
Foucault melihat Panopticon sebagai suatu model kontrol yang unik, suatu metode
kontrol yang tidak lagi menggunakan dominasi fisik terhadap raga, tetapi
melalui isolasi dan observasi yang kontinu. Efek signifikan dari Panopticon
adalah penginduksian tingkat visibilitas yang secara sadar dan permanen
dilakukan untuk memastikan berfungsinya kekuasaan. Panopticon adalah sebuah
mesin yang berfungsi untuk menciptakan sekaligus melestarikan suatu relasi
kekuasaan yang lepas dari pihak yang melakukannya.
Secara materialistis, jembatan Long Island, mesin kontrol numerik, dan penjara Panopticon adalah artefak-artefak yang terdiri dari elemen-elemen yang netral. Namun, ketika elemen-elemen ini membentuk suatu konfigurasi, dengan serta-merta netralitas tersebut sirna. Dengan konfigurasi tertentu, artefak teknologi berubah menjadi media hegemoni, dominasi, dan kontrol untuk memenuhi kepentingan sang pencipta konfigurasi tersebut. Dari perspektif ini kita bisa melihat tiga artefak di atas sebagai refleksi dari relasi manusia dan teknologi melalui kekuasaan yang meliputi tiga tujuan. Pada kasus jembatan Long Island, teknologi berfungsi sebagai media praktik kekuasaan. Pada kasus mesin kontrol numerik, teknologi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Adapun pada kasus penjara Panopticon, teknologi berfungsi untuk memproduksi kekuasaan.
Secara materialistis, jembatan Long Island, mesin kontrol numerik, dan penjara Panopticon adalah artefak-artefak yang terdiri dari elemen-elemen yang netral. Namun, ketika elemen-elemen ini membentuk suatu konfigurasi, dengan serta-merta netralitas tersebut sirna. Dengan konfigurasi tertentu, artefak teknologi berubah menjadi media hegemoni, dominasi, dan kontrol untuk memenuhi kepentingan sang pencipta konfigurasi tersebut. Dari perspektif ini kita bisa melihat tiga artefak di atas sebagai refleksi dari relasi manusia dan teknologi melalui kekuasaan yang meliputi tiga tujuan. Pada kasus jembatan Long Island, teknologi berfungsi sebagai media praktik kekuasaan. Pada kasus mesin kontrol numerik, teknologi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Adapun pada kasus penjara Panopticon, teknologi berfungsi untuk memproduksi kekuasaan.
Budaya dan teknologi
Kekuasaan
tidak lahir dari kondisi vakum. Dia muncul dari suatu konsteks budaya tertentu
sehingga kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan lokal. Karena itu, seperti
yang dikatakan Bryan Pfaffenberger, penjelasan praktik kekuasaan dalam
teknologi tidak akan pernah memuaskan jika kesadaran tentang sistem budaya
diabaikan. Pfaffenberger berargumen bahwa fungsi politis dari suatu teknologi
baru dapat tercapai jika teknologi tersebut dibungkus dalam mitos dan ritual
dan menjadi alat kontrol produksi dan resepsi makna.
Argumen Pfaffenberger didukung oleh David Hess melalui konsep relasi kekuasaan dan budaya. Hess menggunakan konsep ini untuk memahami kompleksitas operasi kekuasaan di masyarakat. Menurut Hess, tanpa adanya perspektif budaya, analisis kekuasaan akan menjadi tumpul dan hanya hanya terfokus pada sejumlah kategori sosial yang terbatas. Hasilnya adalah pengamatan dimensi kekuasaan yang sempit.
Argumen Pfaffenberger didukung oleh David Hess melalui konsep relasi kekuasaan dan budaya. Hess menggunakan konsep ini untuk memahami kompleksitas operasi kekuasaan di masyarakat. Menurut Hess, tanpa adanya perspektif budaya, analisis kekuasaan akan menjadi tumpul dan hanya hanya terfokus pada sejumlah kategori sosial yang terbatas. Hasilnya adalah pengamatan dimensi kekuasaan yang sempit.
Mendekati
kekuasaan melalui budaya dalam teknologi mengantarkan kita ke konsep konstruksi
budaya. Konstruksi budaya tersusun melalui proses interpretasi-reinterpretasi
dan produksi-reproduksi simbol, identitas, dan makna di dalam masyarakat.
Aliran dari keluaran proses ini lalu ditransformasikan ke dalam artefak
teknologi.
Dalam
kerangka konstruksi budaya ini, pengembangan teknologi menyerupai apa yang
disebut Claude Levi-Strauss sebagai bricolage. Bricolage adalah aktivitas
penggabungan elemen-elemen yang ada untuk memenuhi suatu tuntutan lingkungan.
Menurut Hess, teknologi modern tidak berbeda jauh dengan prinsip bricolage di
mana interpretasi budaya membentuk versi teknologi di masyarakat. Dalam pola
ini, seorang praktisi teknologi adalah seorang bricoleur. Dia menghasilkan
suatu teknologi baru melalui rekonstruksi elemen-elemen yang sudah ada untuk
dibentuk menjadi suatu teknologi "baru" dalam konteks budaya di mana
dia berada. Dalam kata lain, orisinalitas teknologi ditentukan oleh konsep
makna yang digunakan.
Pada tingkat praksis, konsep konstruksi budaya dalam teknologi tidak hanya untuk memahami lebih mendalam bagaimana teknologi berinteraksi dengan makna, ritual, dan nilai. Oleh Linda Layne, konstruksi budaya dapat dijadikan "tool" untuk membuat teknologi lebih manusiawi dan dapat diterima dengan baik di masyarakat. Di sini Layne menawarkan apa yang dia sebut sebagai "cultural fix" di mana nilai-nilai budaya di adopsi ke dalam konfigurasi teknologi. Hal ini dapat dilakukan melalui pemahaman makna dalam masyarakat untuk mengidentifikasi kesenjangan antara teknologi dan masyarakat dan mencari solusinya.
Pada tingkat praksis, konsep konstruksi budaya dalam teknologi tidak hanya untuk memahami lebih mendalam bagaimana teknologi berinteraksi dengan makna, ritual, dan nilai. Oleh Linda Layne, konstruksi budaya dapat dijadikan "tool" untuk membuat teknologi lebih manusiawi dan dapat diterima dengan baik di masyarakat. Di sini Layne menawarkan apa yang dia sebut sebagai "cultural fix" di mana nilai-nilai budaya di adopsi ke dalam konfigurasi teknologi. Hal ini dapat dilakukan melalui pemahaman makna dalam masyarakat untuk mengidentifikasi kesenjangan antara teknologi dan masyarakat dan mencari solusinya.
Ketika kotak itu terbuka
Kompleksitas
teknologi modern telah melampaui batas dimensi indrawi manusia dalam mencerna.
Kondisi ini membentuk sikap "taken for granted" dalam masyarakat
kontemporer terhadap teknologi, suatu sikap yang menerima teknologi dengan mata
tertutup. Tragisnya, sikap ini secara perlahan menggali jurang dalam yang dapat
menjebloskan manusia ke dalam bencana kemanusiaan.
Namun
demikian, kita tidak perlu menjadi paranoid dan bersikap antiteknologi. Alasan
untuk menolak sikap ini jelas karena manusia tidak akan pernah lepas dari
teknologi. Yang dibutuhkan adalah suatu tingkat pemahaman teknologi yang lebih
mendalam. Pada tingkat ini, teknologi tidak lagi dilihat pada aspek
materialitasnya yang sering bersifat ilusif melainkan sebagai suatu bentuk
upaya penyingkapan daya yang tersembunyi di alam seperti yang dilontarkan
Martin Heidegger. Penyingkapan ini bagai pedang bermata dua. Dia mengantarkan
manusia kepada bentuk "kebenaran" tentang potensi-potensi yang
tersembunyi di alam. Di sisi lain dia memancing nafsu dan keserakahan manusia
untuk terus melakukan dominasi dan kontrol terhadap alam.
Pemahaman
teknologi secara esensial melalui dimensi sosial, politik, dan kultural
menyediakan tangga bagi kita untuk naik dan menggapai kotak hitam teknologi
yang selama ini kita letakkan di atas kesadaran kemanusiaan kita. Pemahaman
esensi teknologi ini juga menjadi kunci untuk membuka kotak hitam tersebut. Dan
ketika kotak itu terbuka kita bisa melihat sebuah cermin yang terpasang rapi di
dalam kotak itu. Cermin yang menunjukkan wajah kita sendiri.
No comments:
Post a Comment