Artikel
“ Kewarganegaraan Tentang Pers Nasional Dan Nasionalisme
Pers “
Bagaimana
kita mendudukan sejarah pers nasional dalam konteks nasionalisme Indonesia?
Benarkah pers nasional memberi kontribusi penting dalam pembentukan ideologi
nasionalisme Indonesia? Amir Effendi Siregar (Pers Mahasiswa: Patah Tumbuh
Hilang Berganti, 1983) dan Francois Raillon (Ideologi Mahasiswa Indonesia,
1992), dua pakar yang mengulas tentang sejarah pertumbuhan pers mahasiswa
Indonesia menunjukkan, bahwa pencarian identitas nasionalisme tumbuh seiring
dengan kehadiran pers nasional yang dikelola para mahasiswa dan tokoh-tokoh
pergerakan, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Tesis
bahwa rancang bangun nasionalisme Indonesia didirikan dari tradisi olah pikir
yang cerdas dan bermutu bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa seluruh tokoh
kunci pergerakan yang berperan penting dalam pembentukan nasionalisme Indonesia
juga adalah tokoh-tokoh pers ternama. Dimulai dengan Mas Tirto Adhi Suryo,
seorang perintis pers nasional dan pemimpin redaksi Medan Prijaji, yang terbit
pertama kali di Bandung pada 1907. Medan Prijaji tak hanya memberi corak baru
bagi hadirnya faham kebangsaan melalu jalan pers, namun ia juga memberi koridor
bagi munculnya lusinan pers nasional yang hadir untuk memperkuat gagasan nasionalisme
Indonesia.
Berikutnya,
HOS Tjokroaminoto yang dikenal sebagai salah satu ‘guru pergerakan’ adalah
pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa yang banyak mengulas ide-ide
dasar nasionalisme Indonesia. ‘Tiga Serangkai’ (Douwes Dekker, Ki Hajar
Dewantara, dan Dr Tjipto Mangunkusumo) juga menukangi De Express, koran yang
dikenal kritis terhadap kejahatan sistem kolonial. Sebelum berkonsentrasi ke
dunia pendidikan (Taman Siswa), Ki Hadjar juga dikenal sebagai pemimpin redaksi
Persatoean Hindia dan majalah Pemimpin. Dalam usia 18 tahun, Semaun sudah
memimpin Sinar Djawa (kemudian berubah menjadi Sinar Hindia). Sementara SM
Kartosuwiryo adalah reporter dan redaktur iklan di harian Fadjar Asia.
Selanjutnya,
Ir Soekarno adalah kolumnis sekaligus pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan
Fikiran Ra”jat. Semasa studi di negeri Belanda, Mohammad Hatta adalah pemimpin
redaksi majalah Indonesia Merdeka; media yang menjadi corong perjuangan
Perhimpunan Indonesia (PI), organ mahasiswa Indonesia di negeri Belanda.
Sepulang dari Belanda, Hatta (dibantu Sutan Sjahrir) mendirikan sekaligus
menakhodai harian Daulat Ra”jat. Sementara Amir Sjarifuddin adalah pemimpin
redaksi Banteng, penerbitan yang dikelola Partindo.
Kendati
tingkat pendidikan mayoritas rakyat saat itu masih terbilang rendah, namun para
tokoh pergerakan Indonesia sadar bahwa jalan pers adalah medium strategis dalam
mengartikulasikan ide-ide nasionalisme, selain melalui pemogokan dan mimbar
pertemuan. Dengan pers pula, pesan dan gagasan nasionalisme menjadi wacana
politik dan isu publik yang begitu kuat memompa kesadaran rakyat. Pada sisi
lain, jalan pers ternyata memiliki tingkat aksesibilitas tinggi dan cakupan
luas, terutama dalam mengartikulasikan asa kemerdekaan di kancah internasional.
Jalan
pers dalam konteks pembentukan negara-bangsa sesungguhnya menunjukkan bahwa
sejarah politik kita pernah memiliki masa ketika gagasan dan argumen diolah
dalam tradisi literasi yang berkualitas. Abad 20 sebagai periode
‘pencerahan’dimana manusia dan nilai-nilai kemanusiaan begitu
diagungkanÑmembumi di Indonesia masa pergerakan dengan hadirnya sebuah
kesadaran etik, bahwa meretas kemerdekaan tidak harus dengan jalan adu fisik,
namun bisa juga dengan jalan yang lebih terhormat dan humankind: mencerdaskan
otak rakyat sebagai investasi, modal, dan energi kolektif kita sebagai bangsa
untuk menuai cita-cita kemerdekaan kelak.
Keinginan
para tokoh pergerakan Indonesia untuk menggunakan jalan pers sebagai penebar
benih-benih kesadaran dan pencerdasan rakyat tak bisa dilepaskan dari ikhtiar
serius mereka untuk membangun demokrasi, keadilan sosial, dan penghargaan
terhadap HAM. Periode itu seperti hendak menunjukkan bahwa sebelum kita sebagai
bangsa sanggup merebut kemerdekaan dan mengelola kedaulatan politik, rakyat
harus dididik untuk menghargai kemerdekaan berfikir dan menyampaikan pendapat
sebagai bagian penting dari penghormataan atas hak-hak individual mereka
sebagai warga negara. Di sini, jalan pers yang dipilih para tokoh pergerakan
menjadi peneguh tradisi demokrasi rakyat (civil liberties) dalam sebuah
peradaban politik kolonial.
Jalan
pers sesungguhnya adalah pilihan rasional (rational choice) tentang bagaimana
sebuah kebudayaan politik dan tradisi demokrasi dibangun di negeri ini. Jalan
pers adalah sebuah pentas aktivitas demokrasi paling elegan dimana
prinsip-prinsip dasar demokrasi (kebebasan, keadilan, persaudaraan, dan
kemanusiaan) hadir bersamaan dengan proses pembentukan watak bangsa (nation and
character building).
Lalu,
bagaimana dengan wajah pers nasional kita saat ini? Mengutip Agus Sudibyo
(2008), jika pada masa Orde Baru, wajah pers dalam perspektif ekonomi-politik
mediaÑlebih terlihat sebagai perpanjangan tangan negara (state centrism), maka
pasca 1998 institusi pers lebih terlihat dalam coraknya yang market centrism.
Konsep market centrism berangkat dari asumsi bahwa era regulasi negara telah
berakhir seiring tampilnya era regulasi pasar. Dalam perspektif ini, negara tak
lagi menjadi faktor determinan dalam kehidupan media, namun hukum pasarlah yang
menjadi penentu karakter ruang publik media di Indonesia. Dengan kata lain,
wajah pers dalam konteks dinamika ekonomi-politik media era reformasi lebih
tepat disebut berwatak kolaboratif: berciri market regulation sekaligus state
regulation.
Problemnya,
berbagai tren dan kasus menunjukkan, era ‘kebebasan pers’ (free press) dalam
sebuah konstruksi ‘pers industrial’ (free market) ternyata tak mampu
memfasilitasi berbagai aspirasi publik untuk berperan efektif dalam sebuah
ruang media yang demokratis; di luar tarikme-narik kepentingan negara dan
pasar.
Di
era pers berwatak idustrial saat ini, kita tak lagi bisa menemukan watak
nasionalisme dalam wajah pers nasional. Mayoritas pers dan industri media
penyiaran saat ini nyata telah terkontaminasi oleh watak banal negara dan
tabiat predatorik pasar. Pers, kini menghadapi kesulitan serius untuk bertahan
dalam sebuah ruang idealisme di antara kepungan negara dan pasar. Peran pers
sebagai pilar demokrasi keempat terlihat makin samar. Pers industrial tampaknya
lebih enjoy hadir dalam wajahnya yang dilematis, dangkal, artifisial,
sloganistis, dan demagog. (waspada)


No comments:
Post a Comment