PERKEMBANGAN
KELOMPOK
DALAM
MASYARAKAT MULTIKULTURAL
1. Pendahuluan
Pada bahasan sebelumnya telah kita
fahami bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat majemuk;
hanya berbeda dengan konsep Furnivall (1967) yang mengartikan pluralisme masyarakat
Indonesia di dalam konteks masyarakat kolonial yang membedakan
golongan-golongan Eropa , Tionghoa, dan golongan Pribumi, maka menurut Nasikun,
pluralisme masyarakat Indonesia sesudah masa revolusi kemerdekaan harus
dimengerti di dalam konteks perbedaan-perbedaan internal diantara golongan
Pribumi. Pengertian pluralitas masyarakat Indonesia yang membedakan golongan
Eropa, Tionghoa, dan golongan Pribumi sebagaimana yang dikemukakan oleh
Furnivall memang cukup bisa dipertanggung jawabkan untuk melihat masyarakat
Indonesia pada masa Hindia-Belanda. Akan tetapi sejak Indonesia memperoleh
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, golongan Eropa yang sebelum itu
menempati kedudukan yang sangat penting di dalam masyarakat Indonesia, kemudian
terlempar ke luar dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Sejak itu,
pluralitas yang terdapat di dalam golongan Pribumi itu sendiri memperoleh
artinya yang lebih penting daripada apa yang dikemukakan oleh Furnivall.
2. Perkembangan Kelompok : Kajian
Horisontal dan Vertikal
2.1. Dimensi Horisontal
a. Pluralitas Sukubangsa
Keadaan
geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 3.000 pulau yang
tersebar disuatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke
barat dan lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan, merupakan faktor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya pluralitas sukubangsa di
Indonesia. Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini mula-mula
sekali datang secara bergelombang sebagai emigran dari daerah yang sekarang
kita kenal sebagai daerah Tiongkok Selatan pada kira-kira 2.000 tahun sebelum
masehi, keadaan geografis serupa itu telah memaksa mereka untuk harus tinggal
menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lain.
Isolasi
geografis yang demikian di kemudian hari mengakibatkan penduduk yang menempati
setiap pulau atau sebagian dari suatu pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi
kesatuan sukubangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan sukubangsa
yang lain. Tiap kesatuan sukubangsa terdiri dari sejumlah orang yang
dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka
masing-masing sebagai suatu jenis tersendiri. Dengan perkecualian yang sangat
kecil , mereka pada umumnya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama.
Lebih daripada itu, mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka
memiliki asal-usul keturunan yang sama, satu kepercayaan yang seringkali di
dukung oleh mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.
Tentang
berapa jumlah sukubangsa yang sebenarnya ada di Indonesia, ternyata terdapat
berbagai-bagai pendapat yang tidak sama di antara para ahli ilmu kamsyarakatan.
Hidred Geertz (1983), misalnya, menyebutkan adanya lebih dari 300 sukubangsa di
Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan identitas kultural yang berbeda.
Skinner (1959) menyebutkan adanya lebih dari 35 sukubangsa menurut kajian induk
bahasa dan adat yang tidak sama, Van Vollenhoven (1949) mengemukakan
sekurangnya ada 19 daerah pemetaan menurut hukum adat yang berlaku Kendati
angka-angka tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan pada puluhan tahun
yang lalu; akan tetapi dengan perkiraaan bahwa angka kelahiran dan angka
kematian selama ini memiliki rata-rata yang sama bagi kebanyakan sukubangsa
yang ada di Indonesia, maka angka-angka tersebut di atas barangkali masih dapat
menggambarkan keadaan masa kini.
Dalam
pada itu, mengikuti pengertian sukubangsa sebagaimana tersebut di atas, baik
orang-orang Tionghoa yang datang terdahulu, ataupun mereka yang datang kemudian
secara suka rela melalui media perdagangan, maupun yang didatangkan oleh
kolonial Belanda yang maksudnya diperbantukan dalam sektor perdagangan, agaknya
tidak bisa lagi dilihat sebagai kelompok luar masyarakat; keberadaan mereka di
bumi Indonesia ini telah turun menurun untuk beberapa generasi, menganggap diri
sebagai penduduk di negeri ini, memutuskan untuk kemudian menetap secara utuh
dengan berusaha melebur dalam budaya Indonesia; walau masih ada ikatan-ikatan
emosional dengan negeri leluhurnya, tercermin dalam beberapa unsur kebudayaan
yang masih kuat melekat dalam kehidupannya, namun karena secara fisik tidak ada
lagi hubungan-hubungan dengan tanah asal mereka atau orang-orang yang tinggal
di sana, maka lambat laun orang-orang Tionghoa ini lebih mengakui sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia daripada masyarakat Tionghoa. Walaupun secara
kuantitas (jumlah jiwa) sedikit, akan tetapi umumnya kedudukan mereka sangat
kuat di sektor ekonomi dan sangat berpengaruh pada hubungannya dengan
sukubangsa-sukubangsa lain di Indonesia , yang sebagai keseluruhan biasanya
ditempatkan sebagai golongnan pribumi.
b. Pluralitas Agama
Faktor
kedua, yaitu kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara samudera Indonesia
dan samudera Pacifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam
masyarakat Indonesia. Oleh karena letaknya yang berada di tengah-tengah
lalu-lintas perdagangan laut melalui kedua samudera tersebut, maka masyarakat
Indonesia telah sejak lama sekali memperoleh berbagai-bagai pengaruh kebudayaan
bangsa lain melalui para pedagang asing, dari mulai pengaruh kebudayaan India,
Cina, Persia, sampai Eropa; sedangkan Jepang yang pernah menduduki Indonesia
untuk beberapa tahun agak kurang berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat
setempat.
Semua
pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam
masyarakat Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya kita lihat pada timbulnya golongan
Islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis berada di dalam
jalur perdagangan internasional pada waktu masuknya reformasi agama Islam,
golongan Islam konservatif-tradisionalis ditemukan di daerah-daerah
pedalaman, dan golongan Kristen Katolik dan Protestan di daerah-daerah Maluku,
Nusatenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan sedikit di daerah Kalimantan
Tengah; serta golongan Hindu Bali (Hindu-Dharma) terutama di pulau Bali.
Di pulau
Jawa , kita jumpai golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah pantai
utara Jawa Tengah dan JawaTimur dengan kebudayaan pantainya, serta sebagian
besar daerah Jawa Barat; golongan Islam konservatif-tradisionalis di
daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur; dan golongan Islam nominal
yang biasa disebut dengan golongan Islam Abangan, terutama di daerah-daerah
Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta golongan minoritas kristen yang tersebar
hampir disetiap daerah perkotaan di Jawa.
b.1.
Pengaruh Hindu - Bud ha.
Pengaruh yang
pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu
dan Budha dari India sejak 400 tahun sebelum masehi. Hinduisme dan Budhaisme,
pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia, serta
lebur bersama-sama dengan kebudayaan asli yang telah lama hidup. Namun demikian
terutama di pulau Jawa dan pulau Bali pengaruh agama Hindu dan Budha itu
tertanam dengan kuatnya sampai saat ini. Cerita seperti Mahabharata atau
Ramayana sangat populer sampai sekarang, bahkan pada beberapa sukubangsa
seperti Sunda, Jawa, atau Bali, pengaruh cerita-cerita itu sudah dianggap
sebagai bagian atau ciri dari kebudayaannya; beberapa film Indonesia ternyata
banyak yang berorientasi pada sifat-sifat film India, yaitu antara bernyanyi
dan menari; musik dangdut yang demikian populer untuk lapisan masyarakat
tertentu, bisa dikatakan berakar dari kebudayaan India. Pengaruh yang paling
menonjol dari agama Hindu bisa ditemukan pada masyarakat Bali, walaupun ada
sedikit-sedikit perbedaan karena tentunya unsur budaya asli masih
dipertahankan, namun pengaruh agama Hindu tertanam kuat pada kepercayaan
masyarakat Bali; secara umum kalau kita berbicara tentang Hindu di Indonesia,
hampir dipastikan jawabannya pasti Bali, jadi agak mengherankan kalau kita pada
satu saat menemukan orang Bali yang beragama lain, walaupun ada tetapi
populasinya sedikit.
b.2. Pengaruh Kebudayaan
Islam
Pengaruh
kebudayaan Islam mulai memasuki masyatrakat Indonesia sejak abad ke 13, akan
tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang meluas sepanjang abad
ke 15. Pengaruh agama Islam terutama memperoleh tanah tempat berpijak yang
kokoh di daerah-daerah di mana pengaruh agama Hindu dan Budha tidak cukup kuat.
Di daerah Jawa tengah dan Jawa Timur, dimana pengaruh agama Hindu dan Budha
telah tertanam dengan cukup kuat, suatu kepercayaan keagamaan yang bersifat sincretic
dianut oleh sejumlah besar penduduk di kedua daerah tersebut, dimana
kepercayaan animisme-dinamisme bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha
dan Islam. Pengaruh reformasi agama Islam yang memasuki Indonesia pada
permulaan abad ke 17 dan terutama pada akhir abad ke 19 itupun tidak berhasil
mengubah keadaaan tersebut, kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di
daerah-daerah yang sebelumnya memang telah merupakan daerah pengaruh agama
Islam. Sementara itu Bali masih tetap merupakan daerah pengaruh agama Hindu.
Harsoyo
(1999) menyebutkan bahwa praktik penyebaran agama Islam itu melalui dua proses,
yaitu melalui mekanisme perniagaan yang dilakukan oleh orang-orang India dari
Gujarat dan orang-orang Persia, dan yang kedua melalui penguasaan sentra-sentra
kekuasaan di pulau Jawa oleh orang-orang Pribumi yang telah memeluk agama
Islam; dengan proses yang cukup rumit ini tidak mengherankan kalau kemudian
terdapat beberapa perbedaan proses penyerapan agama Islam ini di Indonesia.
Untuk orang-orang yang tinggal di daerah pesisir agak berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di pedalaman; untuk orang-orang yang telah kuat
memeluk agama Hindu dan Budha agak berbeda dengan orang-orang yang lebih
longgar darinya; untuk yang menerimanya dari orang-orang Gujarat agak berbeda
dengan pengaruh Persia; bahkan menurut seorang peneliti Amerika tentang
kebudayaan-kebudayaan di Indonesia, Clifford Geertz (1989), keberadaan agama
Islam pada suatu masyarakat Jawa Tengah itu dilaksanakan menurut tiga lapisan
masyarakat, yaitu agama Islam yang hidup pada kelompok bangsawan yang
disebutnya sebagai Priyayi, Islam yang hidup pada kelompok rakyat
kebanyakan yang disebutnya sebagai Abangan, dan Islam yang hidup pada
anggota-anggota kelompok pesantren sebagai pusat pengkajian agama Islam yang
disebut Santri.
b.3. Pengaruh Kebudayaan
Barat.
Pengaruh
kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui kedatangan bangsa
Portugis pada permulaan abad ke 16, kedatangan mereka ke tanah Indonesia ini
karena tertarik dengan kekayaan alam berupa rempah-rempah di daerah kepulauan
Maluku, rempah-rempah ini adalah sebagai barang dagangan yang sedang laku keras
di Eropa pada saat itu. Kegiatan misionaris yang menyertai kegiatan perdagangan
mereka, dengan segera berhasil menanamkan pengaruh agama Katolik di daerah
tersebut. Ketika bangsa Belanda berhasil mendesak bangsa Portugis untuk
meninggalkan Indonesia pada sekitar tahun 1600 M, maka pengaruh agama Katolik
pun segera digantikan oleh pengaruh agama Protestan. Namun demikian, sikap
bangsa Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama jika dibandingkan dengan
bangsa Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama Proterstan hanya mampu
memasuki daerah-daerah yang sebelumnyaa tidak cukup kuat dipengaruhi oleh agama
Islam dan agama Hindu, sekalipun bangsa Belanda berhasil menanamkam kekuasaan
politiknya tidak kurang selama 350 tahun lamanya di Indonesia.
c. Pengaruh Lingkungan Geografis
Iklim yang
berbeda –bedadan struktur tanah yang tidaksama di antara berbagai-bagai daaerah
di kelpulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas
regional di Indonesia. Perbedaaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan
kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di
Indonesia, yaini : daerah pertanian sawah (wet rice cultivation) yang
terutama banyak dijumpai di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang
(shifting cultivation) yang banyak dijumpai di luar Jawa. Perbedaan
lingkungan ekologis tersebut menjadi sebab bagi terjadinya kontras antara Jawa
dan luar Jawa di dalam bidang kependudukan, ekonomi, dan sosial budaya.
Kontras
antara daerah Jawa dengan luar Jawa diperkuat lagi dengan perbedaan-perbedaan
yang cukup tajam di antara ke dua daerah tersebut di bidang sosial-budaya;
kesuburan tanah dan sistetm pertanian yang lebih intensif dipulau Jawa telah
menjadi landasan bagi pentingnya peranan daerah tersebut pada masa-masa yang
telah lalu. Oleh karena sistem pertanian yang intensif berkembang disana. Maka
desa-desa di Jawa tidak mungkin sepenuhnya dapat berdiri sendiri-sendiri
sebagai selfsufficeint unit. Sistem pertanian yang demikian, sebaliknya,
justru membutuhkan kerja sama lebih besar untuk memelihara sistem irigasi
diantara desa-desa yang tergantung kepada sistem irigasi tersebut. Keadaan
serupa itu lebih lanjut membutuhkan suatu unit kemasyarakatan yang lebih besar
untuk mengintegrasikan berbagai-bagai desa tersebut. Maka berkembanglah dipulau
jawa kerajaan-kerajaan yang didukung oleh sejumlah besar desa-desa sebagai
pembayar pajak, sementara kerajaan sebaliknya memberikan pelayanan birokrasi,
perlindungan dan tuahnya kepada masyarakat sebagai imbalannya.
Di atas landasan
pola itulah maka perkembangan lebih lanjut tidak saja menempatkan kerajaan
dengan raja beserta para bangsawan yang ada di sekitarnya sebagai pusat
pemerintahan, melainkan juga sebagai pusat kebudayaaan. Pengaruh Hinduisme dan
Budhaisme yang datang dari India jauh sebelum kedatangan Islam ke pulau Jawa
telah memperkokoh sistem tersebut; dibawah pengaruh Hinduisme dan Budhaisme,
maka sistem aristokrasi menjadi semakin tegas dan terinci dengan konsep tentang
kerajaan yang bersifat suci dan mengandung kekuatan magis sebagai landasan nya.
Proses tersebut berjalanvcterus dan mencapai kematangannya justru pada awal
kedatangan orang-orang kulit purtih di Indonesia. Sebagai akibat terdesaknya
pengaruh perdagangan laut oleh masuknya orang-orang kulit putih di perariran
Indonesia, maka sejak abad ke 17 kebudayaan Jawa berpaling dari dunia luar,
membalik ke dalam, dan semata-mata menuju ada upaya mempertinggi dan memperluas
kehidupan keraton. Pemusatan kaum bangsawan dalam keraton memperkuat hal itu.
Kendati sifat keningratan kebudayaan Jawa bukan baru timbul pada waktu itu,
akan tetapi ia mencapai tingkatnya yang tinggi pada waktu itu
Berbeda
sekali dengan sistem pertanian sawah di Jawa yang mendorong tumbuhnya suatu
tertib kemasyarakatan yang mendasarkan diri di atas kekuasaan di daratan, maka
sistem pertanian ladang diluar Jawa telah mendorong tumbuhnya suatu sistem
kemasyarakatan yang mendasarkan diri di atas kekuasaan di lautan melalui
keunggulan di dalam lapangan perdagangan. Apabila di Jawa pernah tumbuh kekuasaan
Majapahit yang gemilang, maka di luar Jawa pernah pula berkembang kerajaan Sri
Wijaya yang cemerlang.
Pemerintah
Hindia-Belanda yang berlangsung tidak lurang dari 350 tahun itu bukannya
meniadakan kontras antara Jawa dan luar Jawa, melainkan membiarkannya demikian.
Sebagai mana kita ketahui bersama, maka sejak abad ke 18 tekanan daripada
perdagangan Belanda berpindah dari daerah Maluku ke pulau Jawa. Sejak saat itu
pengawasan pemerintah Hindia-Belanda terhadap daerah-daerah di luar Jawa
menjadi lebih bersifat tidak langsung. Akibat yang timbul dari keadaan ini
tidak dapat lain daripada tetap memelihara kontras antara Jawa dan luar Jawa,
untuk tidak mengatakan mengukuhkannya.
Pola
perdagangan yang telah tumbuh lama sebelum itu tetap terpelihara di daerah-daerah
luar Jawa, sementara kekuasaan langsung pemerintah Hindia-Belanda di pulau Jawa
telah mematikan kegiatan perdagangan penduduk di daerah tersebut. Sebaliknya
untuk kepentingan mencukupi kebutuhan tenaga-tenaga administratif yang murah
bagi kepentingan pemerintah Hindia-Belanda, maka penduduk pulau Jawa lebih
banyak direkrut ke dalam kehiduan birokrasi daripada yang dialami oleh
rekan-rekannya di luar pulau Jawa
Kebanyakan
dari mereka berasal dari golongan elit tradisionil, yang sejak dilaksanakannya
‘politik ethis’ banyak memperoleh kesempatan memasuki pendidikan Barat. Oleh
karena itu apabila usahawan-usahawan pribumi banyak muncul dari daerah-daerah
luar Jawa, maka kaum birokrat justru lebih banyak tumbuh di pulau Jawa.
Semuanya itu tetap merupakan faktor yang sangat memepengaruhi
persoalan-persoalan hubungan antara daearah di Indonesia sampai saat ini.
d.
Pengaruh kota terhadap desa
Satu
konsekuensi dari semakin berkembang dan terbukanya sarana-sarana transportasi
dan komunikasi antara teritorial kota dengan desa, adalah tingkat intensitas
interaksi sosial desa – kota menjadi semakin tinggi; menurut Bintarto (1984)
intensitas interaksi sosial ini berdasar pada keadaan dimana pada satu sisi,
penduduk kota sangat berkepentingan dengan sumber-sumber makanan yang ada di
pedesaan (hinterland), sehingga dengan keadaan itu seolah-olah memaksa
mereka proaktif untuk membuka sentra-sentra kebutuhan ini di daerah pedesaan,
berbagai infra struktur diadakan untuk mempermudah proses pendistribusian
bahan-bahan pokok ini; pada sisi yang lain, penduduk desa juga merasa
berkepentingan dengan komunitas kota, terutama yang berhubungan dengan
kepentingan ekonomi. Konsekuensi logis dari intensitas interaksi sosial
tersebut adalah pengaruhnya terhadap perubahan-perubahan pada masing-masing
kelompok yang berinteraksi; dalam banyak kejadian agaknya komunitas pedesaan
yang lebih banyak menanggapi perubahan itu bila dibandingkan dengan komunitas
kota yang relatif tidak mendapat pengaruh apa-apa dari proses ini.
Salah satu bias
dari konsep tentang urbanisasi seperti yang diungkapkan Didin Saripudin (2005)
yang menyatakan beberapa pengertian urbanisasi yaitu sebagai :
·
Arus
perpindahan penduduk ke kota, adanya migrasi dari daerah-daerah lain menuju ke
kota.
·
Bertambah
besarnya jumlah penduduk kota yang nonagraris di sektor industri dan sektor
informal
·
Tumbuhnya
pemukiman-pemukiman menjadi kota
·
Meluasnya
pengaruh kota di pedesaan mengenai segi ekonomi, sosial, budaya, dan
psikologis.
Dengan
mengacu pada pengertian pada pengaruh kota di pedesaan di atas, secara tidak
langsung pernyataan itu juga mengungkapkan bahwa pengaruh kota terhadap desa
juga menyangkut nilai-nilai yang berhubungan dengan mentalitas, gagasan, sikap,
dan tindakan–tindakan masyarakat desa terhadap seperangkat nilai-nilai yang
mungkin dianggapnya lebih bermanfaat dari yang ada. Pengaruh urbanisasi
ini bisa berarti pemberlakuaanya pada penduduk perdesaan yang tinggal di daerah
pedesaan dan pada penduduk perdesaan yang tinggal di daerah perkotaan; untuk
yang terakhir, tidak demikian menimbulkan masalah karena kehidupan kota memang
menuntut orang untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang hidup disana;
namun untuk yang pertama, ternyata banyak menimbulkan masalah, dimana orang
tidak lagi memilih dan memilah nilai-nilai mana yang baik dan yang buruk.
Kota dan desa
adalah dua bentuk persekutuan hidup dengan dua karakteristik yang berbeda, ini
tentu disesuikan dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing bentuk
persekutuan tersebut; tidak semua nilai-nilai dapat disesuaikan dengan
karakteristik yang berbeda, pemberlakukan nilai-nilai itu akan bersifat
kondusif sejauh ada kecenderungan perubahan yang sifatnya membangun, dari tidak
tahu menjadi tahu, dari tidak punya menjadi punya, dari kekurangan menjadi
cukup, dan sebaginya; tidak semua nilai-nilai yang diserap itu kondusif dalam
konteks pembangunan, bahkan bukan tidak mungkin keberadaannya justru akan
merusak kemapanan tatanan hidup yang telah ada yang akhirnya menganggu
keseimbangan masyarakat.
Modernisasi
yang terjadi pada masyarakat Indonesia menuntut keterlibatan segenap anggota
masyarakat untuk semua berpartisipasi dalam proses pembangunan, segenap
elemen-elemen dalam masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
sama-sama membangun, tidak terkecuali masyarakat-masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok
perdesaan; bahkan bak ‘gayung bersambut’ masyarakat perdesaan menanggapinya
dengan reaksi yang sangat positif, banyak orang desa yang kemudian
berbondong-bondong datang ke kota untuk mengadu nasib. Soekanto (1998)
menggambarkan dua keadaan yang menjadi dasar perpindahan penduduk desa ke kota
itu, pertama faktror–faktor pendorong (push factors) di pedesaan, dan
kedua faktor-faktor penarik (pull factors) dari kota, dengan
perinciannya sebagai berikut :
Faktor-faktor yang mendorong orang
desa meninggalkan tempat tinggalnya :
a.
Di
desa lapangan kerja pada umumnya sangat terbatas kurang, jumlah penduduk yang
semakin bertambah tidak disertai dengan betambahnya lahan-lahan pertanian,
keadaan ini menimbulkan suatu bentuk pengangguran tenaga kerja yang disebut
sebagai ‘pengangguran tersamar’ (disguised unemployment),
b.
Penduduk
desa, terutama individu-individu yang menginjak dewasa, merasa tertekan oleh
adat-istiadat yag mengakibatkan cara hidup yang monoton
c.
di
desa, tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan; oleh sebab itu banyak
orang yang ingin maju, kemudian meinggalkan desa,
d.
Rekreasi
sebagai bagian penting dari kehidupan manusia, bentuknya dianggap tidak bisa
lagi memenuhi aspirasi individu-individu di perdesaan.
e.
Keinginan
untuk mengembangkan usaha–usaha dari keterampilan-keterampilan tertentu selain
bidang pertanian, di kota kemungkinan lebih besar.
Faktor-faktor yang menarik orang desa
ke kota :
a.
Kebanyakan
penduduk desa beranggapan kuat bahwa di kota banyak menyediakan lapangan kerja
yang menghasilkan uang banyak, oleh karena sirkulasi uangdi kota jauh lebih
cepat, lebih besar dan lebih banyak; maka relatif lebih muda untuk
mendapatkannya daripada di desa,
b.
Di
kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan perusahaan industri dan lainnya,
karena banyak lembaga-lembaga yang sanggup meminjamkan modal besar.
c.
Kelebihan
modal di kota lebih banyak daripada di desa
d.
Tersedianya
berbagai macam pendidikan lanjutan, umum maupun kejuruan, bahkan untuk orang-orang
yang berprestasi dan tidak mampu diberikan fasilitas beasiswa
e.
Kota
dianggap tempat yang kondusif untuk mengembangkan berbagai gagasan, yang
mungkin kurang mendapat perhatian atau penghargaan bila diberlakukan di
perdesaan,
f.
Kehidupan
kota relatif bisa memenuhi seperangkat kebutuhan hidup yang lebih baik, seperti
kesehatan (dokter dan rumah sakit), listrik, air minum, rekreasi, dan lainnya.
g.
Kota
dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang ‘lebih tinggi’ dan merupakan tempat
pergaulan dengan segala macam orang dan segala lapisan.
Pada saat
modernisasi ini digulirkan, kota dipenuhi dengan orang-orang desa, kebanyakan
dari mereka adalah untuk menuntut perbaikan hidup, dengan menimba ilmu dan
mencari nafkah; mula-mula mereka tinggal untuk sementara waktu, tetapi setelah
mendapatkan jalan hidupnya di kota mereka memutuskan untuk tinggal menetap.
Orang yang sudah meninggalkan tempat tinggalnya di desa, mempunyai
kecenderungan untuk tetap tinggal di kota, terutama faktor transpotasi yang
menghambat mereka untuk pergi-pulang dari desa ke kota; mereka hanya akan
kembali apabila ada hal-hal penting yang terjadi di desanya. Di dalam rangka
ini, kemungkinan besar urbanisasi mengakibatkan perluasan kota, karena pusat
kota tidak akan mungkin menampung perpindahan penduduk desa yang begitubanyak;
timbullah tempat-tempat tinggal baru di pinggiran kota, proses ini dalam
pengertian sosiologi dikenal dengan proses pembentukan suburb.
Sebaliknya,
hubungan dengan kota, menyebabkan pula terjadinya perubahan di desa, karena
orang-orang yang kemudian tinggal di kota, sekali-kali pulang juga ke desanya.
Beberapa unsur kehidupan kota akan terbawa serta, sehingga ada pula rekan-rekan
warga desa yang meniru aya kehidupan orang kota, proses mana yang disebut
sebagai urbanisme.
Urbanisasi
yang terlampau pesat dan tidak terartur, mengakibatkan beberapa keadaan yang
merugikan kota; penduduk desa yang berbondong-bondong mencari pekerjaan di
kota, menemukan kekecewaan yang besar; karena besarnya jumlah mereka yang
mencari pekerjaan, maka timbul persaingan antara mereka sendiri yang ditambah
pula dengan persaingan yang datang dari penduduk kota sendiri. Orang-orang desa
tidak mengerti bahwa mereka ternyata harus berjuang sendiri; secara umum,
nilai-nilai hubungan antar manusia di kota, khususnya tolong menolong yang
berkenaan dengan profesi seseorang, agaknya kurang berlaku, kecuali untuk
lingkup kelompok yang lebih kecil; agaknya, sukar menemukan orang lain yang
dapat membantu.
Cita-cita
yang muluk akhirnya terhambat, yang akhirnya juga mengakibatkan meningkatnya
tuna karya. Masalah tuna karya sesungguhnya sangat pelik, oleh karena
mempertajam perbedaan antara golongan yang punya dengan golongan yang tidak
punya, suatu keadaan yang di daerah perdesaan jarang terjadi. Berbagai bentuk
keadaan kemudian timbul dari masalah tuna karya ini, meningkatnya praktek-praktek
tuna susila dan kriminalitas. Tuna susila dan kriminalitas yang mula –mula
didorong atas dasar untuk mempertahankan hidup di kota, kemudian dapat berubah
menjadi suatu pekerjaan tetap, sehingga timbullah organisasi-organisasi
penjahat yang sangat sukar untuk dicegah dan diberantas. Tidak selamanya
aktor-aktor tuna susila dan kriminalitas mengindikasikan keadaan ‘orang desa
yang hidup di kota’, bahkan untuk beberapa kasus besar, justru orang-orang kota
yang bahkan berasal dari lapisan atas yang menjadi pemeran utama dalam
permainan kotor ini.
Urbanisasi
merupakan proses yang wajar dan tidak perlu dicegah pertumbuhannya. Karena,
proses urbanisasi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Namun demikian, proses urbanisasi tersebut perlu diarahkan agar tidak terjadi
masalah-masalah seperti tersebut di atas. Pada saat ini pemerintah telah
mengembangkan dua kelompok kebijakan untuk mengarahkan proses urbanisasi, yaitu
mengembangkan apa yang dikenal dengan istilah ‘urbanisasi pedesaas dan juga
mengembangkan ‘pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru’.
2.2. Dimensi Vertikal.
a. Tinjauan Ekonomi
Perbedaan
menurut dimensi vertikal struktur masyarakat Indonesia menjadi semakin penting
dari waktu ke waktu, seperti yang dapat kita rasakan dalam bentuk semakin
tumbuhnya polarisasi sosial berdasarkan kekayaan dan kekuatan politik. Dengan
semakin meluasnya pertumbuhan sektor ekonomi modern beserta organisasi
administrasi nasional yang mengikutinya, maka kontras pelapisan sosial antara
sejumlah besar orang-orang yang secara ekonomis dan politis berposisi lemah
pada lapisan bawah, dan sejumlah kecil orang-orang yang relatif kaya dan
berkuasa pada lapisan atas menjadi semakin mengeras. Proses tumbuhnya
ketimpangan yang demikian mempunyai akarnya di dalam struktur ekonomi Indonesia
pada zaman Hindia –Belanda, yang oleh Boeke (1982) digambarkan sebagai dual
economy.
Di dalan
struktur ekonomi yang seperti demikian, ada dua macam sektor ekonomi yang
sangat berbeda sekali wataknya berhadapan satu sama lain. Sektor yang pertama
berupa struktur ekononmi modern yang secara komersial lebih bersifat canggih (sophisticated),
banyak bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan internasional, dibimbing oleh
motif-motif memperoleh keuntungan yang maksimal, dan di dalam konteks
masyarakat kolonial hampir sepenuhnya dikuasi oleh orang-orang asing atau oleh
keturunan orang-orang asing, termasuk golongan penduduk Tionghoa, yang terutama
berasal dari daerah-daerah metropolitan dimana pusat kekuasaan pemerintahan dan
kegiatan ekonomi berada.
Berhadapan
dan terpisah dari sektor pertama, kita jumpai sektor kedua berupa struktur
ekonomi pedesaan yang bersifat tradisionil, yang menurut teori ekonomi modern
struktur ekonomi pedesaan ini merupakan struktur ekonomi yang berorientasi kepada
sikap-sikap konservatif, dibimbing oleh motif-motif untuk memelihara keamanan
dan kelanggengan sistem yang sudah ada, tidak berminat pada usaha-usaha untuk
meperoleh keuntungan dan penggunaaan sumber-sumber secara maksimal, lebih
berorientasi pada motif-motif untuk memenuhi kepuasan dan
kepentingan-kepentingan sosial daripada menanggapi rangsangan-rangsangar dari
kekuatan-kekuatan internasional, serta kurang mampu mengusahakan pertumbuhan
perdagangan secara dinamis.
Kecuali
sebagian kecil orang-orang yang telah mendapat pengaruh kehidupan Barat yang
modern, maka sebagian besar dari masyarakat Indonesia sebenarnya hidup di dalam
sektor struktur ekonomi pedesaan ini. Sekalipun yang dilukiskan oleh Boeke
merupakan gambaran masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,
namun oleh karena daya pertumbuhan sektor ekonomi modern jauh mengatasi daya
pertumbuhan sektor ekonomi tradisionil, maka sisa-sisa pertumbuhannya masih
dapat kita saksikna dengan jelas pada masa kini; ingat saja kenyataan bahwa lebih
dari 60 % penduduk Indonesia sampai sekarang masih tingal di daerah pedesaan.
Perbedaan
kedua struktur ekonomi tersebut secara integral berakar di dalamkeseluruhan
struktur masyarakat Indonesia yang mengandung perbedaan yang tajam antara
struktur masyarakat kota yang bersifat modern, dengan struktur masyarakat desa
yang relatif bersifat tradisionil. Jika sektor ekonomi modern terutama kita
jumpai hidup di dalam masyarakat perkotaan, maka sektor ekonomi tradisionil
terutama dijumpai di dalam masyarakat desa. Struktur masyarakat yang demikian,
seperti halnya dapat kita jumpai di kebanyakan negara-negara yang sedang
berkembang, ditandai oleh adanya ‘gap’ di dalam hampir setiap aspek kehidupan.
Mengikuti penjelasan Edward Shils (1994) yang menyatakan bahwa bentuk
masyarakat yang demikian ditandai oleh adanya jurang yang memisahkan antara
sejumlah kecil orang-orang yang kaya-raya dengan sejumlah besar warga
masyarakat yang melarat; antara sejumlah kecil orang-orang yang berpendidikan
dengan sejumlah besar anggota masyarakat yang kurang berpendidikan; antara
sejumlah kecil orang-orang kota yang modernis dengan sejumlah besar warga
masyarakat yang berpandangan tradisionil; antara sejumlah kecil orang-orang
yang berkuasa dengan sejumlah amat besar orang-orang yang dikuasai.
b. Tinjuan Politik
Setiap
masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas yang tentunya terjadi
secara tidak merata, fenomena ini senantiasa mengakibatkan timbulnya dua macam
kategori sosial dalam setiapmasyarakat, yaini mereka yang memiliki otoritas dan
mereka yang tidak memiliki otoritas. Pembagianotoritas yang bersifat dikotomis
itu oleh para penganut aliran konflik dianggap sebagai sumber timbulnya
pertentangan-pertentangan sosial dalam setiap masyarakat; keadaan ini bisa
terjadi karena dengan pembagian otoritas seperti itu menimbulkan
kepentingan-kepentingan yang berlawanan satu sama lain, Pembagian otoritas
seperti itu mengakibatkan mereka yang menduduki posisi sebagai pemegang
otoritas, biasanya disebut sebagai kelompok kepentingan (interest group),
dan mereka yang tidak memiliki otoritas,
biasa disebut sebagai kelompok semu (quasi-group), memiliki
kepentingan-kepentingan, yang baik secara substansial maupun arahnya,
berlawanan satu sama lain.
Perbedaan-perbedaan
sukubangsa, agama, regional, dan pelapisan sosial merupakan bahsan yang dapat
dibicarakan secara terpisah; akan tetapi dalam kenyataannya semua jalin
menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi
terjadinya pengelompokkan pada masyarakat Indonesia. Jalinan tersebut telah
menghasilkan terjadinya berbagai ‘kelompok semu’, yang dalam konteks pengertian
populer disebut sebagai ‘golongan’ yang akan menjadi sumber dari mana
anggota-anggota ‘ kelompok kepentingan’ terutama direkrut.
Timbulnya
kematangan kondisi-kondisiteknis. Politis dan sosial sejak permulaan abad
ke-20, dan terutama periode setelah kemerdekaan , telah berhasil mengubah
kelompok-kelompok semu tersebut menjadi berbagai-bagai kelompok kepentingan,
masing-masing dengan salah satu atau beberapa kelompok semu. Sebagai sumber
dari mana anggota-anggotanya terutama diangkat. Salah satu kelompok kepentingan
yang sangat khusus sifatnya adalah apa yang kita kenal sebagai partai politik.
Pada awal
pertumbuhannya di Indonesia, kelompok-kelompok kepentingan semacam itu
mula-mula lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat
sosio-kultural daripada bersifat politis. Baru di kemudian hari maka
kelompok-kelompok kepentingan tersebut mengubah sifatnya menjadi organisasi
yang benar-benar bersifat politis, yaitu di dalam bentuknya sebagai partai
politik. Sejarah panjang keberadaan partai politik di Indonesia ini cukup
memberi warna dari mekanisme sistem politik yang terjadi, yang keberadaannya
tidak terlepas dari unsur-unsur nasionalis, keagamaan, tradisionalis, dan
ideologi-ideologi tertentu seperti komunis, sosialis, demokrasi, termasuk
profesi, yang sekurangnya dipengaruhi oleh unsur-unsur agama, sukubangsa,
kedaerahan, dan stratifikasi sosial. Pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid
tercatat sebanyak 48 partai politik yang bersaing untuk berpartisipasi dalam
mekanisme politik di Indonesia, namun dengan berbagai pertimbangan keseriusan
politik, maka pada tahun 2004 diciutkan sampai 24 partai yang lebih selektif
dan dianggap matang untuk mewujudkan aspirasi politiknya.
Melihat
struktur politik yang demikian, kita menjadi lebih mengerti bertapa
persaingan-persaingan antara partai politik di Indonesia pada dasarnya
merupakan pertentangan antara kelompok-kelompok sosio-kultural berdasarkan
perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama,
daerah dan stratifikasi sosial. Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa perilaku
politik dari berbagai partai politik di Indonesia di dalam hubungannya satu
sama lain jauh lebih kompleks daripada sekedar bersumber di dalam
perbedaan-perbedaan tadi. Mekanisme politik pada awal-awal pemerintahan
Indonesia di lihat oleh Herbert Feith sebagai pertentangan-pertentangan
ideologi politik yang bersumber di dalam ketegangan-ketegangan yang terjadi
antara pandangan dunia tradisional (tradisi Hindu Jawa dan Islam) disatu fihak,
dan pandangan dunia modern, khususnya pandangan dunia Barat, di lain fihak.
Perwujudannya dinyatakan oleh konflik ideologis di antara lima buah aliran
pemikiran politik, yiatu : Nasionalisme radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam
Sosialisme, Demokrat, dan komunisme. Sementara Donald Hindley melihat keragaman
pola kepartaian di Indonesia sebagai bersumber di dalam dua macam penggolongan
masyarakatIndonesia yang bersifat silang menyilang, yaitu : penggolongan yang
bersifat keagamaan di satu fihak, dan penggolangan atas penganut pandangan
dunia tradisional dan penganut pandangan dunia modern di fihak lain.
Pola
kepartaian semacam itu tentu saja sekarang telah mengalami perubahan, akan
tetapi dasarnya yang bersifat sosio-kultural masih belum begitu mengalami
perubahan. Terjadinya fusi antara partai, sebagai salah satu campur tangan
pemerintah, justru akan sangat tergantung pada seberapa jauh
perubahan-perubahan sosiao-kultural yang mendasari pola kepartaian di Indonesia
itu akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.
3. Keanekaragaman dan Perubahan
Kebudayaan
3.1. Masalah keanekaragaman Budaya
Multicultural
berasal dari bahasa Inggris, multicultural, bila dikaitkan dengan
masyarakat maka arti adalah suatu masyarakat yang terdiri dari banyak
kebudayaan. Di dalam masyarakat multikultural ada bermacam-macam kebudayaan yag
hidup bersama dan saling berdampingan sertasalingberinteraksi dalam suatu
masyarakat. Dengan adanya keanekaragaman kebudayaan tersebut diperlukan adanya
sikap saling menghormati, saling menyesuaikan diri antara unsur-unsur
kebudayaan yang satu dan unsur-unsur kebudayaan yang lain dengan tetap
berpegang kepada nilai, norma dam kepribadian bangsa sehingga kehidupan
masyarakat akan tetap seimbang, tentram, dan damai.
Banyak masalah yang timbul ketika kita tidak mau lagi
berpegang pada nilai, norma, dan kepribadian yang kita miliki. Kita akan
terombang-ambing karena tidak memiliki arah sehingga kita menjadi masyarakat
yang labil yang jauh dari kehidupan kita sebagai bangsa yang sesuai dengan
kepribadian bangsa itu sendiri.
Dengan adanya
keanekaragam unusur-unsur budaya tersebut, pastilah akan terjadi interaksi,
baik langsung maupun tidak langsung antara unsur-unsur kebudayaan yang satu
dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain; interaksi dari masing-masing budaya
itu saling membawa pengaruh, secara sadar dan tidak sadar ternyata akan
menyebabkan perubahan-perubahan. Jadi di dalam masyarakat multikultural ada
tiga kemungkinan terjadinya interaksi dari unsur-unsur kebudayaan itu :
1. Hubungan antara unsur-unsur budaya
daerah
2. Hubungan antara unsur-unsur budaya
daerah dengan unsur budaya luar
3. Hubungan antara unsur-unsur budaya
nasional dengan unsur budaya luar.
Banyaknya
unsur kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang tersebar di berbagai
kepulauan Indonesia memiliki dampak positif, yaitu akan memperkaya khasanah
budaya nasional. Namun di fihak lain, keanekaragaman tersebut dapat juga
menimbulkan persaingan, kontravensi (rasa kurang senang), atau
pertentangan-pertentangan, hal mana didasari oleh suatu sikap primodialisme yang
kemudian mewujudkan etnosentrisme yang ditakutkan sebagai cikal bakal
terjadinya disintegrasi.Demikian juga dengan adanya akulturasi atau
kontak antar kebudayaan yang terjadi akan mebawa perubahan besar yaitu
perubahan kebudayaan, suatu keadaan bila dilihat dari sisi negatif akan
menimbulkan masalah melemahnya nilai-nilai budaya bangsa akibat kuatnya
pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia itu
sendiri.
a. Primordialisme
Bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dan beranekaragam corak
budayanya. Bila kita amati dari Sabang dampai Merauke masing-masing suku bangsa
memiliki bahasa, agama, budaya, dan adat istidat yang berbeda.. Keragaman
kebudayaan masyarakat Indonesia sangat berkaitan erat dengan kondisi alam
tempat hidup masing-masing sukubangsa, serta terjadi proses akulturasi dengan
kebudayaan lain bersamaan dengan
interaksi yang terjalin antara budaya dan antar masyarakat. Proses
akulturasi budaya dengan sedirinya akan mempengaruhi corak dan bentuk
kebudayaan suatu kelompok masyarakat, baik unsur-unsur kebudayaan yang
berhubungan dengan cara hidup, seni, bahasa, sistem sosial maupun sistem
kepercayaan (religi).
Keanekaragaman
kebudayaan dalam kehidupan masyarakat, dapat terlihat dari perbedaan
kepentingan yang dimiliki masing-masing kebudayaan. Sikap atau perilaku untuk
mempertahankan pola tindakan dan cara hidup masing-masing dari anggota
masyarakat akan menimbulkan primordialisme. Primordialisme adalah faham atau
ide dari anggota masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk berkelompok
berdasarkan kesuku-bangsaan. Pengertian sukubangsa adalah kesatuan sosial yang
dapat dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan kesadaran akan identitas
dan kebudayaannya, terutama bahasa. Dengan kata lain, suku bangsa ialah
kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan identitas kesatuan
kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering dikuatkan oleh
kesatuan bahasa.
Primordialisme
memang merupakan faktor penting untuk memperkuat ikatan golongan atau kelompok
kebudayaan yang bersangkutan ketika ada ancaman dari luar kelompok kebudayaan
tersebut. Namun di sisi lain, primordialisme dipandang sangat negatif karena
dapat mengganggu keberlangsungan hidup suatu bangsa. Primordialisme sering
dianggap primitif , regresif (perubahan menuju arah kemunduran), dan merusak.
Bahkan primordialisme dianggap akan menghambat modernisasi, proses pembangunan,
dan merusak integrasi nasional. Akibat kuatnya primordialisme ini akan memicu
potensi konflik antar kebudayaan suku-suku bangsa yang ada.
Primordialisme dapat menimbulkan
dampak positif dan negatif, yaitusebagai berikut :
Dampak Positif
1.
Dapat
meneguhkan perasaan cinta tanah air
2.
Dapat
mempertinggi kesetiaan terhadap bangsa
3.
Dapat
mempertinggi semangat patriotisme
4.
Dapat
menjaga keutuhan dan kestabilan budaya
Dampak negatif
1.
Dianggap
menghambat hubungan antara suku-suku bangsa
2.
Dianggap
dapat menghambat proses asimilasi dan integrasi
3.
Dapat
mengurangi bahkan menghilangkan obyektivitas ilmu pengetahuan
4.
Dapat
menyebabkan terjadinya diskriminasi (perbedaan secara sengaja terhadap golongan
tertentu yangd didasarkan atas ras, agama, mayoritas, dan minoritas masyarakat)
5.
Merupakan
kekuatan terpendam (potensial) terjadinya konflik antara kebudayaan suku-suku
bangsa.
Sikap
primordialisme yang ada dalam masyarakat akan melahirkan sebuah etnosentrisme,
yaitu fanatisme sukubangsa. Etnosentrisme memiliki sifat tidak rasional,
emosional, dan sentimental; suatu pertimbangan yang dipakai melalui perasaan,
dan bukan logika.
b. Etnosentrisme
Dalam
kehidupannya, masyarakat multikultural, senantiasa dihadapkan dengan
kebudayaan-kebudayaan lain yang tidak sama satu dengan yang lain dan
kadang-kadang unsur-unsur budaya tersebut sulit dipersatukan, sehingga dapat
menimbulkan pertentangan (konflik). Akibat adanya perbedaan-perbedaan pola
kebudayaan maka dikhawatirkan akan mendorong timbulnya persaingan dan
pertentangan bahkan bentrokan antara sukubangsa yang satu dengan suku bangsa
yang lain , atau etnis satu dengan etnis lainnya. Bentrokan atau persaingan
tersebut ditimbulkan karena adanya faham etnosentrisme di antara sukubangsa
yang satu dengan sukubangsa yang lain. Ini terjadi karena masing-masing suku bangsa
atau etnis saling menonjolkan kelebihan –kelebihan budayanya dan menganggap
budaya lain lebih rendah.
Etnosentrisme
adalah sikap menilai unsur-unsur kebudayaan lain dengan menggunakan kebudayaan
sendiri; hal ini dapat diartikan pula sebagai sikap yang menganggap cara hidup
masyarakatanya adalah cara hidup yang paling baik.
Etnosentrisme mempunyai
dampak positif dan negatif, yaitu sebagi berikut :
Dampak positif
Dilihat
dari fungsi sosial, etnosentrisme dapat menghubungkan seseorang dengan golongannya
sehingga dapat menimbulkan rasa solidaritas kelompok yang sangat kuat. Dengan
perasaan solidaritas yang kuat ini, maka setiap individu akan bersedia
memberikan pengorbanan secara maksimal pada kelompok atau masyarakatnya. Sikap
etnosentrisme diajarkan kepada kelompok bersama dengan nilai-nilai kebudayaan;
salah satu bukti adanya sikap etnosentrisme, adalah hampir setiap individu
merasa bahwa kebudayaannya adalah yang paling baik dan lebih tinggi
dibandingkan dengan kebudayaan lain. Contohnya antara lain :
1.
Bangsa
Amerika bangga akan teknologi dan kekayaan materialnya
2.
Bangsa
Mesir bangga akan peninggalan purbakala yang bernilai tinggi
3.
Bangsa
Perancis bangga akan bahasanya
4.
Bangsa
Itali banggga akan musiknya
5.
Bangsa
Indonesia bangga akan keramah-tamahan dan sifat kegotong-royongannya.
Dengan
demikian, dampak positif dari sikap etnosentrisme adalah dapat mempertinggi
semangat patriotisme, menjaga keutuhan dan menjada stabilitas masyarakat.
Dampak negatif.
Ketika satu
sukubangsa menganggap sukubangsa lain lebih rendah, maka sikap demikian akan
meimbulkan berbagai macam konflik. Konflik itu antara lain kasus SARA, yaitu
pertentangan yang didasari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Dampak negatif
yang lebih luas dari sikap Etnosentrisme adalah :
1.
Akan
terhambatnya proses integrasi nasional.
2.
Mengurangi
obyektivitas ilmu pengetahuan
3.
Akan
menghambat pertukaran budaya , dan menghambat proses asimilasi kelompok yang
berbea.
3.2. Masalah-masalah perubahan kebudayaan
Perubahan,
adalah salah satu ciri yang melekat dari suatu kebudayaan; perubahan ini
seolah-olah mengambarkan sifat hakekat manusia itu sendiri. Setiap manusia
memiliki potensi, termasuk dorongan, untuk memperbaiki keadaan diri dan
lingkungannya, atas dasar inilah kita bisa melihat perubahan-perubahan hidup
manusia, dari awalnya manusia itu ada sampai sekarang. Tidak mengherankan kalau
pada awal-awal kehidupan manusia, misalnya, mereka tidak memakai pelingdung
badan atau baju yang memadai, itu disebabkan karena pada saat itu mungkin belum
ada teknologi atau cara bagaimana membuat baju itu, walaupun mereka
menganggapnya perlu; tetapi untuk jaman sekarang, mau baju apa atau yang
bagaimana semuanya ada, maka agak mengherankan kalau pada saat ini bahkan ada
orang-orang yang ingin tidak berbaju – baju bagi mereka hanya sekedar mode yang
senantiasa bisa berubah-rubah, demikian juga dengan tidak berbaju, mungkin
mereka menganggapnya hanya sekedar mode.
Perubahan itu
bisa berlangsung dengan tempo yang lambat, atau melelui proses evolusi,
dan bisa berlangsung dengan tempo yang cepat, atau melalui proses revolusi;
bisa menyangkut hal-hal yang kurang mendasar, dan bisa menyangkut hal-hal yang
mendasar; bisa berlaku pada masyarakat yang relatif sederhana, dan bisa berlaku
pada masyarakat yang relatif kompleks; bisa berasal dari faktor-faktor dari
dalam masyarakat, dan bisa berasal dari faktor-faktor di luar masyarakat, dan
sebagainya. Bahwa perubahan itu selalu melekat dalam kehidupan manusia itu
sudah jelas, tetapi ternyata perubahan itu kemudian menimbulkan beberapa
akibat, bahwa ternyata tidak semua anggota masyarakat dapat menerima perubahan,
bahwa untuk kasus-kasus tertentu ternyata perubahan itu mengganggu dan merusak
sistem-sistem kehidupan lain yang sudah mapan, atau bahkan dengan perubahan itu
kemudian timbul ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat. Dengan demikian kita
mengetahui bahwa perubahan dalam masyarakat itu menimbulkan dua keadaan,
bersifat kondusif atau bersifat destruktif; tanpa mengurangi arti pentingnya
proses-proses perubahan yang bersifat kondusif, untuk selanjutnya kita akan
lebih berkonsentrasi pada masalah-masalah yang timbul akibat perubahan
kebudayaan.
a. Masalah perubahan akibat adanya
kontak dengan unsur-unsur kebudayaan asing
Akulturasi
adalah perubahan besar yang terjadi dalamkebudayaan sebagai akibat adanya
kontak antar kebudayaan yangberlangsung lama. Hal itu terjadi apabila ada
kelompok-kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda saling berhubungan secara
langsung dan intensif. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya perubahan-perubahan
besar pada pola kebudayaan pada salah satu kelompok atau keduanya. Perubahan
kebudayaan akibat adanya proses akulturasi tidak mengakibatkan perubahan total
pada kebudayaan yang bersangkutan, hal ini disebabkan karena ada unsur-unsur
kebudayaan yang masih bertahan, masyarakatpun ada yang menerima sebagian atau
mengadakan penyesuaian dengan unsur-unsur kebudayaan yang baru. Sejarah panjang
perjalanan hidup masyarakat Indonesia ditandakan dengan banyaknya berhubungan
dengan masyarakat asing seperti Cina, India, Persia, Portugis, Inggris,
Belanda, dan Jepang; keberadaanmereka ternyata banyak meninggalkan unsur-unsur
kebudayaan yang kemudian beberapa darinya diadopsikan dalam budaya lokal.
Dalam proses
kontak antara unsur-unsur budaya yang satu dan budaya yang lain, terjadilah
saling mempengaruhi (interaksi) antara kebudayaan itu, dalam proses iteraksi
itulah akan timbul permasalahan tentang perubahan kebudayaan, yaitu makin
melemahnya nilai-nilai budaya sendiri. Begitu juga apabila interaksi dengan
budaya asing sangat kuatpadahal sebenarnya tidak sesuai dengan kepribadian
budaya bangsa kita. Dalam konteks modernisasi, suatu keadaan yang sarat dengan
peniruan gaya hidup asing, karena orang ingin disebut modern maka mereka tidak
segan-segan untuk meniru gaya hidup masyarakat Barat, walau mungkin untuk
sebagian besar masyarakat nilai-nilainya dianggap bertentangan.
b. Bentuk Kontak dengan Budaya Asing
Adanya kontak
antar kebudayaan, yaitu antara budaya Indonesia dengan budaya asing yang
berlangsung selama ini telah membawa perubahan besar, kontak mana terjadi
melalui kontak langsung maupun tidak langsung seperti melalui pendudukan pada
masa-masa sebelum kemerdekaan, politik, pendidikan, kerjasama ekonomi dan
pertahanan, ataupun pariwisata. Sebagi contoh, ketika saluran diplomatik
duanegara atau lebih telah dibuka, maka akan terjadilah hubungan sosial secara
langsung. Sarana-sarana komunikasi seperti media cetak, radio, tape, Televisi,
internet serta berbagai audio-visual lainnya merupakan kontak tidak
langsung.
Hubungan
sosial dapat berupa kedatangan parawisatawan, yang kemudian mereka menunjukkan
kebiasaan–kebiasaannya, dengan berdansa ketika berada di tempat hiburan,
menggunakan pakaian minim ketika di pantai, atau berperilaku yag terkadang kurang
sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Tempat wisata pada umumnya di huni oleh
masyarakat yang masih sederhana, budaya
penduduk setempat berbeda dengan budaya wisatawan, begitu pula dengan
perilakunya. Pertemuan antar dua kebudayaan itu memungkinkan terjadinya proses
penerobosan (penetrasi) kebudayaan. Penetrasi (penerobosan)
kebudayaan adalah suatu unsur atau kompleks unsur kebudayaan asing yang
mempengaruhi kebudayaan setempat sedemikian intensifnya, sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan besar dari kebudayaan yang bersangkutan, proses ini
terdiri dari duamacam bentuk, yaitu :
Penetrasi pasifique
Adalah suatu
bentuk penetrasi yang biasanya dilakukan oleh pedagang dan penyebar agama,
misalnya masuknya pengaruh Hindu, Budha, Islam , dan Kristen ke Indonesia.
Penetrasi Violente
Adalah bentuk
penetrasi kebudayaan yang dilakukan melalui penaklukan atau penjajahan.
Contohnya penjajahan orang-orang Eropa di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
Penetrasi
tersebut dapat menimbulkan dampak yang positif dan negatif. Penetrasi
kebudayaan yang positif, misalnya usaha untuk saling berkomunikasi dan berusaha
mempelajari bahasa internasional. Penetrasi kebudayaan yang negatif, misalnya
menirtu kebiasa-kebiasaan pendatang, seperti meniru perilaku seks bebas. Pada
dasarnya dampak positif maupun negatif dari penetrasi kebudayaan adalah sangat
logis karena dalam pariwisata misalnya, pendatang (tamu-turis) harus dilayani
dengan sebaik-baiknya, akibatnya norma-norma yang biasa digunakan cenderung
menjadi longgar.
Hubungan
melalui kontak secara tidak langsung pada masa ini agaknya lebih dominan dari
bentuk yang langsung, hal ini disebabkan karena medianya lebih mudah untuk
terjadi; kemajuan teknologi dan telekomunikasi seolah-olah telah menghilangkan
jarak antar wilayah, antar bangsa, dan antara negara yang menurut Michael
Haralamos dan Marthin Holborn disebut sebagai globalisasi, yaitu suatu
proses yang didalamnya batas-batas negara menjadi luluh (hilang) dan tidak
penting lagi dalam kehidupan sosial.
Faktor penyebab berkurangnya arti
penting batas-batas negara yaitu :
* Meningkatnya perdagangan
internasional
* Kemajuan sistem komunikasi dan alat
perhubungan, dan
* Pariwisata
Dengan adanya
era globalisasi, kejadian penting di seluruh pelosok dunia dapat diketahui
secara cepat melalui jaringan komunikasi yang sedemikian rumit, seperti
pendayagunaan satelit. Saat ini kita tidak banyak menemui kesulitan untuk
melakukan hubungan dalam wilayah yang sangat jauh maupun wilayah terpencil.
Selain melalui jaringan komunikasi, saluran globalisasi dapat terjadi melalui
media cetak, elektronik, pariwisata internasional, dan migrasi internasional.
Dengan adanya
kemajuan yang sangat pesat di segala aspek, maka semua orang membutuhkan
informasi. Kebutuhan informasi yang demikian besar pada satu fihak akan
mempengaruhi fihak lain,dimana fihak lainpun akan memanfaatkannya sehingga
keduanya akan saling mempengaruhi. Pengaruh tersebut akan masuk secara
perlahan-lahan yang akhirnya akan membentuk sejumlah pengertahuan yang memiliki
nilai berbeda dengan pengetahuan yang ada di lingkungannnya. Misalnya melalui
media massa dan media elektronika, iklan produk yang berasal dari luar negeri
akan berpengaruh pada sikap konsumerisme masyarakat, begitu pula dengan
tayangan-tayangan film-film dari luar negeri yang berbeda dengan kebudayaan
bangsa kita dapat mempengaruhi sistem nilai-nilai sosial-budaya setempat.
Daftar Pustaka
Berghe, van den, Pierre, (1967). Dialectic
and Functionalism: Toward a Synthesis, dalam N.J. Demerath III et.al.eds., System,
Change, and Conflict, The Free Press, New York, Collier-McMillan limited,
London.
Boeke, Johanes. (1982). Memperkenalkan
Teori Ekonomi Ganda; dalam: Sayogyo,. Bunga Rampai Perekonomian Desa.
Jakarta: Yayasan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Frederick,W.H-Soeroto,S. ed. (1984). Pemahaman
Sejarah Indonesia Sebelum Dan Sesudah Revolusi; Jakarta: LP3ES.
Furnivall, J.S., (1967), Netherlands
India: A Study of Plural Economy, Cambridge at The University Press.
…….. , (1956), Colonial Policy and
Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India, New York
University Press.
Geertz, Clifford. (1989). Abangan,
Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (terj.), Jakarta. Dunia Pustaka
Jaya.
Geertz, Hildred. (1981). Aneka
Budaya dan Komunitas di Indonesia (terj.), Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu
Sosial & FS UI.
Keesing, Roger M. (1992). Antropologi
Budaya,Suatu Perspektif Kontemporer (terj.); Jakarta: Penerbit Erlangga.
Koentjaraningrat. (1993). Masalah
Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press)
……. (1996). Pengantar Antropologi;
Jakarta: Rineka Cipta
Lawang, Robert. (1985). Sistem
Sosial di Indonesia, Jakarta: Penerbit PT Kurunika Universitas Terbuka.
Linton, Ralph. (1963). The Study
of Man, (terj). Bandung: Jemmars.
Mutakin,Awan-Pasya G Kamil.(2000). Masyarakat
Indonesia dalam Dinamika, Bandung: Buana Nusa.
Nasikun. (1993). Sistem Sosial
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Sanderson, (2000) Sosiologi Macro,
Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial; Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada
Saripudin, Didin (2005). Mobilitas
dan Perubahan Sosial, Bandung. Penerbit : Masagi Foundation,
Soekanto, Soerjono. (1979). Sosiologi
Suatu Pengantar; Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Soekanto, Soerjono. (1983). Beberapa
Teori Sosiologi Tentang Sturktur Sosial, Jakarta: CV Rajawali
Soemardjan, Selo-Soemardi, (1974). Setangkai
Bunga Sosiologi; Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Sunarto, Kamanto. (2004). Pengantar
Sosiologi, Penerbitan : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
No comments:
Post a Comment