Tidak
ada yang abadi dan sempurna. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengalami
perubahan empat kali tak luput dari ketidaksempurnaan itu. Namun, perubahan UUD
1945 dinilai lebih demokratis daripada sebelumnya.
Kesadaran
itu mengemuka. Sampai saat ini memang ada pihak yang mempertanyakan apakah ada
sebuah alur yang jelas antara Pancasila sebagai dasar negara dan perubahan
konstitusi yang dilakukan. Praktik politik pemilu presiden dan wakil presiden
secara langsung maupun pemilihan kepala daerah seakan memberi makna berbeda
dari sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan.
Mereka
yang tidak setuju amandemen sejak awal bahkan menilai proses perubahan UUD 1945
sangat mudah memasukkan unsur baru dan meninggalkan latar belakang sejarah
perumusan UUD 1945. Pendekatan yang dilakukan pun terlalu formalistik sehingga
hal-hal yang tidak tertulis tidak banyak menjadi pertimbangan.
Dengan
diubahnya kedaulatan rakyat dalam sila keempat menjadi sistem pemilihan
langsung mulai dari bupati, gubernur, sampai presiden, apakah sila keempat
Pancasila masih ada di negara Indonesia ini
?
Dikhawatirkan
reformasi yang terjadi di Indonesia pun merupakan bagian dari skenario kekuatan
kapitalisme global. Semula banyak orang berpikir reformasi otaknya orang
Indonesia. Namun, ternyata bukan. Itu adalah global sistem yang jalan di
seluruh dunia dengan nama yang beda-beda.
Ada
gerakan kaum globalis dari Amerika Serikat (AS) yang menunggangi reformasi
konstitusi. Tujuan utama kaum kapitalis global adalah penguasaan terhadap
sumber daya alam di seluruh dunia. Tujuan itu dikemas dalam slogan democratic
reform, judicial reform, dan constitutional reform. Di semua negara diadakan
lebih dulu reformasi demokrasi, dan Indonesia sudah terkena. Musyawarah mufakat
tidak dipakai lagi
Proses
reformasi yudisial melahirkan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial
(KY). Keberadaan MK telah mengacak-acak sistem hukum yang ada dan menimbulkan
ketidakpastian hukum. MK dapat merombak isi undang-undang (UU) yang dibahas DPR
bersama presiden. Reformasi konstitusi dilakukan melalui amandemen konstitusi.
Kekuatan global itu memasukkan ide kapitalisme, liberalisme, dan neoliberalisme
ke dalam UUD 1945.
Kondisi
ini sangat berbahaya. Amandemen konstitusi membuat bangsa ini tak memiliki
konsepsi nasional. Itu ditandai dengan banyaknya ketidakcocokan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah atau ketidakcocokan satu instansi dengan instansi
lain. Kalau pada waktu awal reformasi kita dihadapkan pada bahaya yang disebut
disintegrasi bangsa, sekarang jauh lebih berat dan berbahaya. Namanya disintegrasi
konsepsi nasional.
Terobosan
sejarah
Namun,
mereka yang mendukung perubahan UUD 1945 menilai amandemen yang dilakukan MPR
selama periode 1999-2002 merupakan lompatan besar. Reformasi konstitusi
berjalan di jalur yang benar karena tetap mempertahankan Pancasila, Pembukaan
UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seiring dengan
terjadinya perubahan dunia, ilmu pengetahuan, dan teknologi, konstitusi perlu
juga disempurnakan.
UUD
1945 sebelum penyempurnaan justru merupakan desain negara totaliter yang
bertentangan dengan semangat Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan membentuk
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Dengan demikian, kalau
boleh dikatakan secara ringkas, amandemen itu sebenarnya menempatkan kembali
norma fundamental awal kembali pada tempatnya.
Dengan
amandemen tidak hanya membuat DPR menjadi berkuasa. Perubahan UUD 1945 juga
memberi kekuasaan yang sangat besar kepada presiden meski hal itu tidak
digunakannya. Tidak ada rancangan UU yang bisa jadi UU tanpa disetujui
presiden. Kekuasaannya besar sekali, tetapi tidak digunakan.
Misalnya,
soal pengangkatan Kepala Polri atau Panglima TNI oleh presiden yang
mengharuskan melalui persetujuan DPR, hal itu pun diatur di UU, bukan di UUD.
UU merupakan persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
Oleh
karena UU disusun bersama-sama, memang tidak boleh ada satu pihak yang
membatalkan seenaknya. Namun, jika UU dirasakan menimbulkan kerusakan di
sana-sini, presiden bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perpu). Dalam kondisi normal, presiden juga bisa mengajukan
legislative review, sedangkan dalam kondisi setengah normal bisa mengajukan judicial
review.
UUD
juga tidak mengharuskan semua daerah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah
(pilkada) secara langsung. Karena itu, kalau dalam UU diharuskan seluruh daerah
melakukan pilkada langsung, hal itu memprihatinkan. Misalnya, Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah salah satu modal negara kesatuan. Tanpa itu dulu Negara
Kesatuan tidak jadi.
Perintah
UUD adalah pilkada dilakukan secara demokratis. Pasal 18B UUD 1945 mengatakan,
negara ini menghormati kesatuan istimewa itu. UUD juga mengatakan dalam otonomi
daerah, kekhususan daerah juga diperhatikan. Artinya, hubungan pusat-daerah
tidak simetris. Kenapa mendadak UU-nya bilang pilkada harus langsung?
Masalah
yang muncul pascaperubahan UUD 1945 adalah justru terjadi pada tingkat
operasional UU, bukan UUD.
Lompatan
sejarah
Perubahan
UUD 1945 oleh mereka yang mendukung dinilai sebagai lompatan sejarah yang luar
biasa, seperti yang pernah dilakukan pendiri bangsa ketika membuat UUD 1945.
Saat itu, mereka menyepakati bentuk negara Indonesia adalah republik. Padahal,
kalau melihat latar belakang sejarah, tidak ada di wilayah Nusantara ini yang
bernama republik, tetapi kerajaan atau kesultanan.
Perubahan
UUD 1945 Pasal 6A juga mengamanatkan presiden dan wapres dipilih secara
langsung oleh rakyat. Sementara dalam UUD 1945 sebelum perubahan maupun
penjelasannya, sama sekali tidak diatur mekanisme pemilu.
Setelah
perubahan UUD 1945, anggota DPR pun tidak ada lagi yang diangkat, tetapi
seluruhnya dipilih rakyat. Demikian pula anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
yang sebelum perubahan UUD dikenal dengan Utusan Golongan dan Utusan Daerah,
kini dipilih langsung oleh rakyat pula.
Jadi,
melalui perubahan UUD 1945, sebenarnya kita sedang mencoba untuk melakukan
bagaimana Pancasila yang memiliki cita-cita itu dilaksanakan.
Pemisahan
kekuasaan juga menjadi lebih tegas. Perubahan UUD 1945 Pasal 4 Ayat 1
menyebutkan, ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut UUD”, berarti, Presiden memegang kekuasaan eksekutif. Kemudian, Pasal 5
Ayat 1, ”Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR.” Pasal 20 Ayat 1, DPR
memegang kekuasaan membentuk UU. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan, dikatakan,
Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Berarti,
Presiden memegang dua kekuasaan, yaitu legislatif dan eksekutif.
Apalagi
jika mengutip Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, Presiden adalah pemegang
kekuasaan tertinggi di bawah MPR. Sudah mandataris, memiliki dua kekuasaan
sekaligus. Dengan demikian, bila hal itu dipertahankan, pasti melahirkan
otoritarianisme.
Soekarno
menjadi diktator atau Soeharto menjadi otoritarian, bukan salah mereka.
Konstitusi memberikan arah ke sana dan tidak ada kontrol.
Suka
tidak suka, harus diakui, perubahan UUD 1945 memang lebih demokratis daripada
UUD 1945 sebelum perubahan. Perubahan konstitusi bukan saja dihasilkan dari
kumpulan kompromi politik, tetapi secara teoretis juga bisa
dipertanggungjawabkan. Parameter sebuah konstitusi dikatakan demokratis dapat
dilihat dari sistem pembagian kekuasaannya, perlindungan hak asasi manusia
(HAM), dan sistem check and balances-nya.
Secara
teoretis perubahan UUD 1945, dari yang pertama hingga keempat, memang
menghasilkan konstitusi yang lebih memenuhi unsur karakteristik konstitusi
demokratis. Perlindungan HAM, misalnya, dalam perubahan UUD 1945 sangat
lengkap. Bahkan, bisa dikatakan terlengkap di dunia.
Tentu
konstitusi hasil perubahan ini belum sempurna karena tidak ada buatan manusia
yang sempurna meski sudah lebih demokratis daripada UUD 1945 sebelum perubahan.
Karena itu, posisi kita saat ini bukan kembali ke naskah asli UUD 1945,
melainkan melakukan perbaikan, misalnya menambahkan constitutional complain
atau revitalisasi DPD sehingga DPR memiliki perimbangan kuasa. (kompas)
No comments:
Post a Comment