KASUS KORUPSI DI
INDONESIA
DAFTAR HITAM PARA PENGEMBAN AMANAT
KASUS-KASUS KORUPSI DI INDONESIA
DAFTAR HITAM PARA PENGEMBAN AMANAT
KASUS-KASUS KORUPSI DI INDONESIA
Senin, 25 Oktober 2004 | 15:13 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
bertekad dalam program kerja seratus harinya akan mengutamakan pemberantasan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Menurut Presiden, KKN, akan menjadi salah
satu masalah berat yang harus diselesaikan oleh Pemerintah yang baru. Jika
dirunut, masih banyak masalah KKN di negara ini yang dalam proses hukumnya
berhenti di tengah jalan. Berikut adalah kasus-kasus KKN besar yang menunggu
untuk diselesaikan. SOEHARTO Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga
melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila,
Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun.
Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan
alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat
kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan
ini diragukan banyak kalangan. PERTAMINA Dugaan korupsi dalam Tecnical
Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun
1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih,
Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para
tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar
Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe,
serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo. Kasus Proyek Kilang Minyak Export
Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha
Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US
$ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M,
1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan
merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$
700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang
minyak bernama Exor I tersebut. Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar
Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina
Faisal Abda'oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana.
Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta. Korupsi di BAPINDO Tahun 1993, pembobolan
yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil
yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar
1.3 Triliun. HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young Kasus HPH dan
Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang
penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian
negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang
terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu,
sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto. Bob Hasan telah
divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek
pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu
juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15
juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah. Prajogo Pangestu
diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman
industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331
miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto,
membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini
tak jelas kelanjutannya. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan
Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu
menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total
dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan
penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Bekas
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam
pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran
BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman
masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu
ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding. Bersama tiga
petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa
yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac),
David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa),
Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern). Yang jelas,
hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan
penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus
Abdullah Puteh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini
menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik,
dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar. Kasusnya kini masih ditangani pihak
kejaksaan dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi.Pusat Data dan Analisa
Tempo, Fitrio ? Tempo Kasus Korupsi Lain Sudjiono Timan - Dirut PT Bahana Pembinaan
Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan (lahir di Jakarta, 9 Mei 1959; umur 49
tahun) adalah seorang pengusaha asal Indonesia. Dari tahun 1995 hingga 1997 ia
menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia
saat ini merupakan seorang buronan karena melarikan diri dari hukuman
pengadilan. Oleh pengadilan, Timan telah diputuskan bersalah karena telah
menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara
memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS,
Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS,
dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami
kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 miliar.
Pada pengadilan tingkat pertama di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan dibebaskan dari tuntutan hukum karena
perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi vonis bebas itu, Jaksa
Penuntut Umum mengajukan kasasi dan meminta Majelis Kasasi menjatuhkan pidana
sebagaimana tuntutan terhadap terdakwa yaitu pidana delapan tahun penjara,
denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp1
triliun.
Pada Jumat, 3 Desember 2004, Majelis
Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh Ketua MA Bagir Manan memvonis
Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan membayar
uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.
Namun, saat Kejaksaan hendak
mengeksekusi Sudjiono Timan pada Selasa, 7 Desember 2004, yang bersangkutan
sudah tidak ditemukan pada dua alamat yang dituju rumah di Jalan Prapanca No.
3/P.1, Jakarta Selatan maupun rumah di Jalan Diponegoro No. 46, Jakarta Pusat
dan dinyatakan buron dengan status telah dicekal ke luar negeri oleh Departemen
Hukum dan HAM.
Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung
Republik Indonesia mulai menyebarkan foto dan datanya ke masyarakat melalui
televisi dan media massa sebagai salah satu 14 koruptor buron yang sedang
dicari.
Eko Edi Putranto
- Direksi Bank Harapan Sentosa (BHS)
Eko Edi Putranto (lahir 9 Maret 1967;
umur 41 tahun) adalah terpidana kasus korupsi di Bank Harapan Sentosa (BHS). Ia
telah divonis untuk menjalani 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, dan
pembayaran uang pengganti sebesar Rp 1,95 trilyun. Ia disidang secara
in-absentia dan tidak dapat dieksekusi badan sesuai putusan pengadilan tinggi
DKI Jakarta pada tanggal 8 November 2002.
Namun sampai saat ini statusnya masih
buron dan diduga berada di Australia. Status buronnya ditetapkan Kejaksaan
Agung pada tanggal 30 Oktober 2006. Ia adalah mantan komisaris BHS dan
merupakan putera dari Hendra Rahardja yang menjadi direktur bank tersebut.
Dalam rilis kejaksaan agung dideskripsikan bahwa ia mempunyai ciri-ciri tinggi
badan sekitar 170 cm, warna kulit putih, bentuk muka oval, mata sipit dan rambut
hitam lurus.
Ia dipersalahkan karena selaku komisaris
atau pemegang saham bersama-sama dengan ibunya terpidana Sherny Konjongian,
selaku Direktur Kredit, antara tahun 1992-1996 telah memberikan persetujuan
kredit kepada 6 perusahaan dalam grup. Ia juga memberikan persetujuan kredit
kepada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa. Karena kredit
itu oleh lembaga pembiayaan disalurkan kepada perusahaan grup. Caranya dengan
disalurkan lewat penerbitan giro kepada perusahaan grup tanpa proses administrasi
kredit dan tidak dicatat atau dibukukan. Selanjutnya, beban pembayaran lembaga
pembiayaan kepada BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan grup.
Akibatnya, negara dirugikan Rp 1,95 triliun.
Agung Sesalkan Terulangnya Kasus Korupsi di DPR
JAKARTA - Terungkapnya kembali kasus
dugaan korupsi yang melibatkan anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional
(FPAN) Abdul Hadi Djamal turut disesalkan Ketua DPR Agung Laksono. "Tentu
saya menyesalkan hal itu semakin meluas," katanya kepada wartawan di
Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/3/2009). Bentuk penyesalan ini, menurut
Agung, dicerminkan dalam dukungan penuh DPR terhadap tindakan tegas yang
dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). DPR, kata Agung, tidak akan
menghalang-halangi tugas KPK dalam mengungkap kasus korupsi yang melibatkan
anggota DPR. "Kami tidak akan menolak, silakan saja. Sepanjang itu sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku dan sesuai bukti-bukti dan data yang
akurat, tidak ada politisasi, serta semata mata untuk penegakan hukum dan
memberantas korupsi," ungkapnya. Agung juga mempersilakan KPK menyelidiki
kasus tersebut hingga ke akar-akarnya. "Apabila ada teman yang terkait,
tentu ini harus dimintai pertanggungjawaban," tegasnya. DPR sampai sejauh
ini akan membiarkan proses hukum berjalan sesuai prosedur yang berlaku.
"Jangan sampai dikatakan ada intervensi, biar diselesaikan dulu dan nanti
pada saat yang tepat DPR juga akan melakukan tindakan," pungkasnya.(ded)
KPK Baru Selesaikan 80 Kasus Korupsi
KPK Baru Selesaikan 80 Kasus Korupsi
INILAH.COM, Jakarta - Sekitar 27 ribu
kasus korupsi yang diterima KPK sejak lembaga korupsi ini dibentuk pada 2003.
Dari jumlah itu, baru sekitar 10% yang ditindaklanjuti. Sebanyak 80 kasus korupsi
yang sudah dituntaskan KPK.
"Memang belum banyak. Kalau
dihitung-hitung baru sekitar satu persennya saja yang sudah
terselesaikan," kata Deputi Bidang Pencegahan Korupsi KPK, Eko Susanto Ciptadi,
di Medan, Kamis, (4/12).
Menurut Eko, sebanyak 50 laporan
pengaduan masyrakat yang diterima KPK setiap harinya. Laporan dugaan korupsi
tersebut, dilakukan oleh berbagai pihak baik oleh pejabat maupun instansi
lainnya.
Sedangkan sebanyak 27 ribu pengaduan
masyarakat, tidak hanya berasal dari pemerintah pusat. Tapi, juga dari daerah
di seluruh Indonesia.
Eko menjelaskan, tidak semua kasus
korupsi bisa ditangani KPK. Sebab, dalam menindaklanjuti kasus korupsi, KPK
memiliki beberapa kriteria. Seperti, kasus korupsi yang sudah meresahkan
masyarakat. Disamping itu, kasus korupsi yang merugikan negara minimal Rp 1
miliar.
"Artinya kalau kerugian negara
masih kurang Rp 1 miliar, kasus itu masih ditangani oleh pihak kejaksaan
saja," jelasnya.
Meski begitu, tambah Eko, ada juga
beberapa kasus korupsi yang bisa diambil alih KPK dari kejaksaan. Salah satunya
jika penanganan kasus korupsi yang diusut kejaksaan tak kunjung rampung.
"Lainnya adalah diduga adanya
tindakan korupsi dalam penanganan suatu kasus korupsi dan adanya intervensi
politik dari berbagai kalangan," pungkas Eko.[*/jib]
Koruptor Indonesia Didominasi Pejabat dan Pengusaha
Koruptor Indonesia Didominasi Pejabat dan Pengusaha
Minggu, 22 Februari 2009
| 06:16 WIB
TEMPO Interaktif, Bandung: Tindak
korupsi di Indonesia lebih banyak diperankan i kalangan pengusaha dan pejabat.
Sejak Orde Lama, Orde Baru hingga era reformasi, kedua kelompok ini masih
paling banyak menggarong uang negara dengan aneka modus korupsinya. "Modus
khas pejabat minta uang lalu dibagi-bagikan kemudian sebagian dipakai untuk
kegiatan sosial," kata mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
Amien Sunaryadi di Bandung, kemarin.
Amien dalam diskusi korupsi di Aula
Barat Institut Teknologi Bandung juga memaparkan hasil kajiannya terhadap
pemberitaan kasus korupsi sejak 1955 hingga sekarang di sejumlah surat kabar.
Pada 1955, misalnya, Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo ditangkap karena
menerima suap dari seorang pengusaha agar bisa mendapat visa. Lalu pada 1957,
Polisi Militer Divisi Siliwangi Jawa Barat bergerak menangkapi para koruptor
yang menggelembungkan harga kertas suara Pemilu. Terus berulang dan miripnya
modus korupsi tersebut, kata Amien, menunjukkan besarnya kesalahan sistem di
negara ini. Yang mengenaskan adalah bahwa para pejabat koruptor umumnya
orang-orang berpendidikan tinggi, minimal sarjana. Juga kenyataan pelaku
korupsi ternyata mahasiswa yang dulu turun ke jalan menolak korupsi pejabat.
"Kalau negara ini dibilang maju, hebat, itu mimpi di siang bolong,"
katanya. Solusinya, Amien meminta pemerintah memperbaki sistem manajemen
pengelolaan negara. Selain itu, mengubah pola pikir masyarakat dan mengikut
sertakan kalangan pengusaha untuk menolak korupsi, misalnya dengan tidak
menyuap pejabat. "Yang dipenjara itu kebanyakan orang pemerintah, padahal
keuntungan (korupsinya) kecil," tandasnya.
ANWAR SISWADI
ANWAR SISWADI
Masih banyak sekali kasus korupsi yang
terjadi di Indonesia, baik yang sudah terungkap atau belum terjamah atau tidak
terungkap sama sekali baik korupsi kelas kacungan sampai korupsi kelas kakap.
Inilah sisi Hitam pemerintahan Indonesia, entah sampai kapan koruptor di
Indonesia bisa dihentikan, ini pula yang memicu banyaknya golput di
Indonesia/tindakan tindakan apatis terhadap pemerintahan Indonesia.
Apakah Korupsi
di Indonesia bisa dihilangkan ?
No comments:
Post a Comment